eQuator.co.id – Hingga saat ini masih banyak angkutan sewa berbasis online yang tidak berizin. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) membeberkan, untuk wilayah DKI Jakarta saja ada 14.290 angkutan sewa online yang melanggar aturan. Jumlah tersebut hampir 90 persen dari 15.822 kendaraan yang sudah tergabung dalam beberapa perusahaan transportasi berbasis aplikasi.
Dari tiga perusahaan aplikasi terbesar, Uber menduduki posisi teratas untuk jumlah kendaraan mitra tidak berizin dengan 6.483 unit. Disusul kemudian PT Solusi Transportasi Indonesia (GrabCar) 4.763 kendaraan dan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Go-Car) 3.044 unit.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto Iskandar menyampaikan, data itu diperoleh hingga awal November 2016. Dia tengah mengroscek apakah kendaraan tersebut beroperasi sebagai angkutan sewa atau tidak. ”Ini kami minta standby dulu, kan belum ada izin,” ungkapnya di Jakarta kemarin (10/11).
Bila memang terbukti mereka sengaja melanggar, pemerintah akan memberikan pengarahan. Kemudian menginventarisasi kendala yang dihadapi sehingga mereka masih belum mendapat izin. Belum ada sanksi khusus untuk mereka. ”Apakah terkait KIR? Dulu kan katanya antrenya terlalu panjang. tapi sekarang kosong. Bahkan kita sudah bantu dengan membuka dua kali uji KIR gratis,” ujarnya.
Sikap pemerintah itu mendapat sorotan dari Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda). Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengaku kecewa. Menurut dia, pemerintah terlihat tidak serius menjalankan aturan yang ada. Apalagi sudah banyak keringanan yang diberikan dalam pengurusan itu. Termasuk melakukan beberapa kali penundaan penerapan PM 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek secara penuh. ”Seharusnya pemerintah tegas. Kami menyesalkan itu,” keluhnya.
Dari sisi usaha, persaingan itu menjadi semakin tidak sehat. Sebab, perusahaan-perusahaan aplikasi terus membuka keran untuk bergabung. Bahkan, rekruitmen dilakukan di tempat-tempat umum seperti mal dan SPBU. Padahal, banyak dari kendaraan mitra yang masih belum berizin sebagai angkutan sewa. ”Dari sisi usaha, tentu kita kayak bersaing dengan perusahaan hantu. Antara ada dan tiada,”ungkapnya.
Karena itu, pihaknya akan mendesak pemerintah dalam hal ini pemda untuk melakukan pembatasan jumlah angkutan. Kebijakan ini perlu dilakukan. Bila tidak, akan mengancam perusahaan-perusahaan kecil yang ada. ”Yang kecil akan kalah dengan yang besar. Yang besar akan sangat berkuasa. Neokapitalis. Padahal katanya ekonomi rakyat,” tuturnya.
Dampak terburuk, tentu ancaman pengangguran membesar. Sebab, bila perusahaan tutup tentu para sopir akan menganggur. Sebab, saat ini saja dari 27 ribu taksi di Jakarta hanya 40 persen yang masih beroperasi. ”Perusahaan aplikasi memang berujar kalau mereka justru membantu mengurangi pengangguran. Tapi saya berani jamin, itu hampir 70 persennya justru bukan main job pengemudi. Itu sampingan, sehingga bukan pengangguran yang direkrut,” paparnya. (mia/oki)