Kok Bisa Trump?

eQuator.co.id – Dia berani bicara blakblakan. Dia tidak takut bersikap kontroversial. Dia banyak ditertawakan. Dia banyak dihujat. Banyak survei bilang dia bakal kalah. Banyak sekali pihak yang tidak ingin dia menang. Atau bahkan bisa dibilang takut kalau dia yang menang. Tapi, pada akhirnya, dia mampu membuat seluruh dunia syok. Secara mengejutkan, Donald J. Trump terpilih sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat (AS).

Di usia 70 tahun, Trump menjadi presiden terpilih tertua dalam sejarah. Trump juga pendatang baru di kancah politik, membuktikan kalau seseorang tidak harus berkiprah lama di dunia tersebut untuk bisa meraih kemenangan di level tertinggi.

Apakah kemenangan ini baik untuk Amerika? Baik untuk dunia? Itu pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh Trump selama empat tahun ke depan. Yang jelas, kemenangannya ini tidak akan jauh dari kontroversi, dari cibiran-cibiran, baik dari dalam negeri atau dari berbagai penjuru dunia.

Trump pun sadar betul bahwa selama kiprah kampanyenya telah membuat publik Negeri Paman Sam terbelah. Untuk itu, dalam pidato kemenangannya, dia mengajak semua warga Amerika untuk kembali bersama. ”Kini saatnya Amerika membalut luka. Kita harus melakukannya bersama,” kata Trump di Hotel Hilton Midtown, New York, di depan para pendukung dan keluarganya pada Rabu (9/11) dini hari waktu setempat.

Trump juga berjanji akan bersikap ramah dengan negara-negara lain. ”Kami akan bersepakat secara adil dengan semua orang dari seluruh negara. Kami akan berkerja sama, bukan konflik. Mencari tempat bersama, bukan memusuhi,” katanya.

Taipan properti dan bintang reality show tersebut menyampaikan pidato kemenangan setelah ditelepon dan mendapat ucapan selamat dari rivalnya, Hillary Clinton. Dia pun menempatkan apresiasi kepada Hillary pada awal pidatonya. ”Hillary telah bekerja sangat lama dan melewati periode sulit untuk waktu yang lama pula. Kita berutang rasa syukur atas tugas pelayanannya selama ini untuk negara kita,” kata Trump disambut tepuk tangan meriah dari para pendukungnya. ”Aku mengungkapkan ini dengan tulus.”

Trump mengajak warga Amerika untuk fokus pada agenda bersama. Termasuk di antaranya menggandakan pertumbuhan ekonomi sehingga kembali menjadi kekuatan yang diperhitungkan dunia. ”Saya telah menghabiskan seluruh hidup saya dalam bisnis dan melihat potensi yang belum dimanfaatkan dalam proyek-proyek di seluruh dunia,” ujarnya. “Yang sekarang ingin saya lakukan adalah untuk negara kita. Potensi yang luar biasa,” lanjut Trump.

Clinton baru menyampaikan pidato kekalahan pada Rabu (9/11) pukul 10.30 waktu setempat di Ballroom New Yorker Hotel. Dia akan memberikan pidato kekalahan di depan para pendukungnya yang pada Rabu dini hari telah disuruh pulang dari tempat rencana pesta di Jacob K. Javits Convention Center.

Kemenangan Trump ini memang benar-benar mengejutkan. Sebelum pemungutan suara, berbagai polling mengarah ke kemenangan Clinton. Tapi, Trump membuat kejutan dengan berjaya di beberapa swing states alias sejumlah negara bagian yang bisa dibilang imbang. Misalnya, Florida, Pennsylvania, dan Ohio.

Trump tidak perlu menang banyak di wilayah abu-abu itu. Cukup menang tipis. Dan, itulah yang dia lakukan. Sehingga total electoral vote-nya mencapai angka 276, mengunci kemenangan. Clinton hanya mengumpulkan 218 suara.

Hingga berita ini diturunkan masih ada Minnesota, Michigan, dan New Hampshire, dan 1 distrik di Maine belum menentukan pemenang final. Namun votes dari negara-negara bagian itu sudah tidak menentukan lagi siapa yang akan menjadi presiden terpilih.

Kemenangan Trump di sejumlah battleground juga menyakitkan bagi Clinton. Di Florida, misalnya. Dukungan besar dari Latinos, yang menjadi ras paling dihina dalam kampanye Trump, tak mampu memberikan Clinton kemenangan di negara bagian dengan 29 electoral votes itu. Padahal, meskipun Florida adalah basis GOP, sebutan Partai Republik, Barack Obama dua kali merebutnya pada Pilpres 2008 dan 2012.

Yang paling mengejutkan adalah Pennsylvania. Di negara bagian yang sejak 1992 selalu dimenangkan oleh Demokrat itu, kali ini direbut oleh Trump. Kekalahan di Pennsylvania itu pula yang membuat Clinton akhirnya menyerah kalah dan memberi ucapan selamat kepada Trump.

Clinton didukung oleh sebagian besar ras Afrika-Amerika, Latinos, serta disokong kelompok mayoritas kulit putih berpendidikan tinggi. Perempuan juga lebih banyak memilih Clinton. Sedangkan Trump didukung mayoritas kulit putih yang tak pernah kuliah serta di pinggiran atau kota kecil. Yang mengejutkan, Trump juga banyak didukung oleh kelas pekerja.

Dalam exit polls yang diakukan Edison Research disebutkan, sedikitnya tiga dari lima pemilih bilang bahwa AS telah benar-benar berada dalam jalur yang salah. Di antara para voters yang berpendapat itu, 69 persen mendukung Trump. Sedangkan 25 persen memilih Clinton. Hampir seperempat voters merasa marah terhadap pemerintahan federal. Mereka inilah yang menjadi pendukung utama Trump. (*/ca)