Tugu ‘Orang Digoel’ di Tengah Kota Pontianak

Kisah Para Pahlawan Asal Kalimantan Barat (Bagian 1)

SEBELAS DIGULIS. Penampakan monumen yang didirikan untuk memperingati pahlawan asal Kalbar di Jalan A. Yani Pontianak. Foto diambil Rabu (9/11). Iman Santosa-RK

eQuator.co.id – Sebelas tonggak berbentuk bambu runcing itu pasti akan langsung dikenali. Yah, letaknya kan di jalan utama. Dibangun untuk memperingati sebelas tokoh pejuang perintis kemerdekaan asal Kalimantan Barat.

Iman Santosa, Pontianak

Monumen Sebelas Digulis namanya. Terletak di bundaran jalan protokol, A. Yani, membuatnya selalu dilewati oleh mereka yang datang ke Kota Pontianak. Sebelas tonggak di monumen ini tingginya berbeda-beda. Diresmikan pada peringatan Hari Pahlawan tahun 1982 oleh Gubernur Kalbar kala itu, H. Soedjiman. Kebanyakan masyarakat Kota Pontianak menyebutnya sebagai Tugu Digulis atau Bundaran Untan (Universitas Tanjungpura).

Dihimpun dari berbagai sumber, Sebelas Digulis sendiri merujuk pada tokoh-tokoh yang sempat dibuang ke Boven Digoel di Tanah Merah, Papua. Walaupun hal tersebut tidak sepenuhnya tepat. Sebab, dalam catatan sejarah, dari 11 pejuang perintis kemerdekaan, hanya 10 orang yang dibuang ke Boven Digoel.

Sementara, Ya’ M. Sabran, meski termasuk pahlawan perintis kemerdekaan, tidak dibuang ke sana. Ia adalah rekan Gusti Sulung Lelanang yang bersama-sama membangun pendidikan masyarakat di era kolonial yang sangat tertinggal.

Mereka yang telah menetap di Pontianak dalam kurun lebih dari dua puluh tahun pasti ingat bahwa di lokasi yang sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Antonius Pontianak dulunya adalah bangunan penjara. Di penjara itulah, beberapa orang ‘berbahaya’ —menurut penjajah— pernah mendekam.

Di sel nomor 1 ada Djeranding Abdurrahman. Di sel nomer 2, ada Gusti Hamzah. Sementara, di sel nomer 3 dan 4 mendekam secara berturut-turut Haji Muhammad Rais bin Haji Abdurrahman dan Gusti Sulung Lelanang.

Bagi generasi sekarang, nama-nama tersebut hanya dikenal sebagai nama untuk jalan-jalan protokol di kota Pontianak. Namun, di eranya, mereka adalah orang-orang yang diincar, dimata-matai bahkan ingin dilenyapkan oleh penjajah Belanda.

Bukan tanpa sebab. Djeranding misalnya, dia adalah wartawan di surat Kabar Borneo Bergerak dan Surat Kabar Halilintar Hindia pada era kolonial. Reportasenya di kedua surat kabar tersebut seringkali membuat gerah pihak Belanda. Begitupun tokoh lainnya semisal Gusti Sulung Lelanang.

Sosok asal Landak ini tidak ubahnya HOS Tjokroaminoto di tanah Jawa sana. Dari binaannya, banyak lahir tokoh-tokoh pergerakan yang kemudian meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tahanan-tahanan politik pemerintah Belanda itu diperiksa. Hasilnya, berdasarkan keputusan Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia pada 1 April 1927, mereka dijatuhi hukuman dibuang seumur hidup ke Boven Digoel, di Papua.

Bukan cuma empat, total 13 orang yang dibuang ke penjara alam di belantara bumi cenderawasih tersebut. Sepuluh yang dibuang adalah pejuang asli Kalimantan Barat, sementara 3 orang lainnya merupakan pejuang asal Sumatera Barat, termasuk di antaranya Abdul Achalick Salim, adik kandung Agus Salim.

Pemberangkatan orang-orang yang dibuang ke Boevan Digoel ini dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama yang dikirim adalah Djeranding Abdurrahman (Kapuas Hulu), Haji Muhammad Rais Abdurrahman (Parit Mayor, Pontianak), Gusti Hamzah (Sukadana, Kayong Utara) , serta seorang pejuang asal Sumatera Barat, Mustafa.

Pembuangan tahap kedua dilakukan pada 7 orang yang semuanya berasal dari daerah Landak. Mereka adalah Gusti Sulung Lelanang, Gusti Situt Mahmud, Gusti Idrus alias Gusti Johan, Ahmad Marzuki, Muhammad So’od, Muhammad Sohor, dan Muhammad Hambal. Sementara, pengiriman tahanan yang terakhir adalah seorang pegawai di kantor residen Pontianak bernama Maswar dan juga Abdul Achalick Salim. Keduanya berasal dari Sumatera Barat.

Kota Ngabang di Landak merupakan salah satu basis perjuangan pergerakan politik era kolonial. Diawali dengan berdirinya Serikat Islam di kota tersebut pada tahun 1914. Menyadari pergerakan itu, berselang lima tahun pemerintah kolonial Belanda, aktivitas SI di Kalimantan Barat ditutup. Sempat terjadi kevakuman politis, baru pada 1923 berdiri Serikat Rakyat (SR) yang didirikan oleh Gusti Sulung Lelanang. Rekan-rekan Gusti Sulung Lelanang yang dulunya pernah bersama di SI kemudian bergabung dalam SR ini.

Keberadaan SR di Ngabang sendiri menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, SR yang berpusat di Semarang merupakan gerakan pecahan dari Sarekat Islam dan berhaluan komunis. Lalu apakah tokoh-tokoh Digulis adalah orang-orang berhaluan ‘kiri’? Meski kemudian beberapa tokoh nasional juga sempat dibuang ke Boven Digoel, namun penjara ini awalnya diperuntukkan bagi para pemberontak komunis di Banten pada 1926. Sementara ketiga belas pejuang yang dibuang ini merupakan generasi-generasi awal yang dibuang ke sana.

Dugaan bahwa tokoh-tokoh Digulis ini adalah mereka yang berhaluan ‘kiri’ tercatat dalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat 1908-1950 yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Barat pada tahun 1991. Bahkan diduga, merekalah embrio dari organisasi berhaluan kiri yang ikut mengobarkan perlawanan rakyat Kalbar pada 1936.

Dijelaskan dalam buku tersebut, tokoh-tokoh Digulis ini baru ‘bertobat’ dari aliran kiri saat mereka menjalani pembuangan di Digoel. Selain itu, dugaan ini juga diperkuat dengan hubungan tokoh-tokoh ini dengan Abdul Achalick Salim. Adik kandung Agus Salim ini dalam sejarah tercatat sebagai pejuang berhaluan komunis.

Namun, dugaan ini ditepis oleh Sejarawan Syafarudin Usman. Ia termasuk yang percaya bahwa tokoh-tokoh Digulis bukanlah pengikut komunisme. Dalam hal Djeranding Abdurrahman, dari Kalimantan Barat ke Boven Digoel, ia menjelaskan bahwa keberadaan SR di Kalimantan Barat berbeda dengan SR di tingkat nasional.

Usman menilai bahwa pengikut SR di Kalimantan Barat sama sekali bukan sosialis. Namun, Belanda menuduh penggagasnya sama dengan pemberontak berhaluan sosialis yang membentuk SR.

Menurut Usman, itu hanyalah dalih yang digunakan Belanda untuk mematikan aktivitas gerak langkah tokoh-tokoh yang menentang kolonialisme Belanda. Di Digoel sendiri, para tokoh-tokoh Kalbar ini bukan orang-orang yang ‘jinak’. Gusti Sulung Lelanang dan Gusti Djohan Idrus tercatat sempat berusaha melarikan diri ke Australia, namun berhasil ditangkap dan dikembalikan ke Digoel.

Djeranding Abdurrahman yang seorang jurnalis juga tercatat pernah menulis di Soeara Ambon tentang penderitaan para tahanan selama di Digoel. Karena publikasi tulisannya itulah, pihak Belanda mendapat tekanan internasional untuk menutup penjara legendaris tersebut.

Akhir hayat para tokoh-tokoh ini berbeda-beda. Gusti Djohan Idrus, Moehammad Hambal, dan Moehammad Sohor, wafat dalam pembuangan di Boven Digoel. Sedangkan Gusti Sulung Lelanang, Achmad Sood, Gusti Hamzah, Gusti Moehammad Situt Machmud, dan Haji Rais bin H. Abdurrahman, menjadi korban dalam peristiwa Mandor Berdarah. Djeranding Abdurrahman sempat merasakan indahnya kemerdekaan. Tokoh asal Kapuas Hulu ini meninggal di Putussibau pada tanggal 7 September 1987 dalam  usia 83 tahun. (*/bersambung)