Temukan Pungli e-KTP di 13 Propinsi

ORI kirim rekomendasi ke Kemendagri

ilustrasi.net

eQuator.co.id – Program e-KTP masih menuai banyak masalah di daerah. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan masih ada pungutan liar hingga ketersediaan alat yang masih kurang memadai. Dari temuan hasil investigasi di 34 provinsi itu ORI memberikan rekomendasi perbaikan ke Kementerian Dalam Negeri (kemendagri).

Temuan pungli itu tersebar di 13 provinsi. Yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kep Riau, Jambi, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimanatan Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan. Data tersebut dikumpulkan dari kantor perwakilan ORI di masing-masing propinsi.

Dari data tersebut, ORI menemukan para pelaku pungli itu bisa siapa saja yang berkaitan dengan pelayanan e-KTP. Mulai dari petugas RT/RW, petugas pengamanan dan pedagang setempat, petugas kecamatan, hingga petugas di dinas kependudukan dan catatan sipil. Khusus di Jawa Timur, ORI menemukan ada satu kasus yang calo e-KTP yang bekerjasama dengan petugas setempat. Sedangkan satu kasus lainnya melibakan petugas di level kecamatan.

Anggota ORI Ahmad Suaedy menuturkan pungli itu paling banyak ditemukan lantaran ada jarak antara perekaman dan pencetakan. Dalam beberapa kasus yang ditemukan ORI, ada biaya atau pungli yang harus dikeluarkan warga agar percetakan e-KTP itu bisa dipercepat. Pungli yang dikeluarkan itu sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu untuk pengurusan.

”Merekam dan mencetak ada jarak yang bisa ditransaksikan,” ungkap dia di kantor ORI Jalan HR Rasuna Said, Jakarta kemarin (7/11).

Dia menilai kasus pungli itu rata-rata dipicu oleh petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang tidak transparan dan kurang detail. Sehingga ada celah yang bisa dimainkan oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab. ”Antrean di kecamatan antre bisa melalui karyawan dan pedagang sekitar,” ungkap dia.

Untuk mengungkap praktik tercela itu pegawai ORI di daerah sampai melakukan penyamaran. Mereka menjadi warga yang mengurus e-KTP untuk membuktikan adanya pungli itu. ”Bahkan sampai mengurus dengan cara membayar. Tapi itu sebagai metode (investigasi, red),” ujar pria yang punya pengalaman sebagai Direktur Eksekutif The Wahid Institute itu.

ORI memang tidak bisa memberikan sanksi secara langsung. Tapi, mereka bisa memberikan rekomendasi yang bersifat wajib dijalankan. Dalam hal ini, mereka merekomendasikan kepada Kemendagri. Kemarin, rekomendasi itu diserahkan kepada Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh.

Sementara itu, Anggota ORI Ninik Rahayu menuturkan bahwa di kota-kota besar juga masih ditemukan adanya praktik pungli. Meskipun telah menerapkan sistem elektronik untuk pelayanan. Salah satu modusnya adalah mempersulit persyaratan. ”Misalnya KK untuk pengurusan e-KTP dipersulit. Atau dipermudah untuk pejabat misalnya,” ungkap dia.

Nanik menuturkan mereka juga menaruh perhatian dugaan pungli pengurusan e-KTP di Surabaya. Salah satu temuannya adalah masih ada warga yang harus mendapatkan pengantar dari RT/RW dalam pengurusan e-KTP. Padahal sesuai ketentuan tidak perlu. ”Pada saat saya ke dispendukcapil tidak ada lagi. Tapi waktu di kecamatan kami menemukan,” ujar dia. (jun)