eQuator.co.id – Siapa pun yang akan melenggang ke Gedung Putih, Pemilu AS 2016 mengukir sejarah. Rekor jumlah pemilih pecah dengan total pendaftar menembus 200 juta orang. Pilpres kali ini juga menghadirkan komposisi anyar yang membuat wajah pemilih AS menjadi sama sekali baru.
Jessica Matat meninggalkan FIU Arena, Miami, dengan riang. Cewek yang siang itu mengenakan dress pendek warna navy blue plus knee high boots berbahan suede hitam tersebut menyusul ibu dan adiknya yang menunggu di samping pintu keluar. Di kampus itu, pada Kamis (3/11) waktu setempat, Presiden AS Barack Obama berkampanye untuk Hillary Clinton.
’’Aku support Hillary karena aku tidak mungkin menerima seorang calon presiden yang rasis,’’ kata Jessica. Perempuan berdarah Meksiko tersebut tidak bisa menerima perlakuan Trump terhadap kaum hawa.
Jessica, yang bekerja di agen perjalanan, merupakan wajah pemilih baru yang diperkirakan menjadi penentu siapa yang akan berkantor di Oval Office, West Wing, ruangan paling penting di Gedung Putih.
Berdasar data PEW Research Center, jumlah warga AS yang layak memilih tahun ini mencapai 225.778 juta orang. Sebanyak 31 persen di antaranya adalah pemilih dari etnis minoritas atau nonkulit putih. Sebanyak 12 persen di antara jumlah itu adalah Afrika-Amerika, 12 persen berikutnya berdarah Hispanik, 4 persen Asia, dan 3 persen etnis lainnya.
Pemilih Hispanik atau Latinos mencatat pertumbuhan paling progresif sejak 2000. Pada tahun pertama terpilihnya George W. Bush, warga keturunan Latin yang memilih hanya 7 persen. Lalu, jumlah mereka naik menjadi 8 persen (2004), 9 persen (2008), dan 11 persen (2012). Tahun ini diproyeksikan jumlah mereka mencapai 12 persen.
TargetSmart mencatat, per akhir Oktober, telah terdaftar 200.081.377 pemilih. Itu merupakan sejarah baru. Delapan tahun lalu, saat Obama menjadi presiden keturunan kulit hitam pertama di AS, jumlah pemilihnya hanya 146,3 juta orang. Artinya, ada lebih dari 50 juta pemilih baru yang akan mengikuti pemilihan umum kali ini.
Popularitas keterlibatan pemilih Hispanik juga mencuat ’’berkat’’ kampanye negatif yang dilancarkan Donald Trump untuk menggaet simpati kulit putih garis keras. Trump menyebut Latinos sebagai pelaku kriminal, pemerkosa, dan pembunuh.
Sebaliknya, kubu Clinton berusaha merengkuh komunitas Latinos dengan menjadikan kantong-kantong Hispanik seperti Florida sebagai fokus kampanye. Clinton juga secara khusus membuat kampanye berbentuk iklan televisi bertajuk 27 Millones Firmes (27 Million Strong).
Iklan itu bercerita tentang perjuangan para imigran Latinos meraih tanah impian Amerika. Pariwara itu juga mengajak 27 juta Latinos, jumlah penutur bahasa Spanyol di AS tersebut, memberikan suara pentingnya.
Daniela, 23, merupakan sosok Latin yang menjatuhkan pilihan kepada Clinton. ’’Dia memberikan kesempatan kepada semua untuk meraih kehidupan yang lebih baik,’’ katanya. Daniela tidak memilih Trump bukan hanya karena rasisme. Pun, dia menganggap taipan 70 tahun itu tidak layak menjadi presiden. ’’Negara ini tak bisa dipimpin orang seperti itu,’’ ungkapnya.
Jorge, 50, memang sudah tidak muda. Namun, dia juga seorang Hispanik yang berstatus pemilih baru. ’’Sebelumnya aku tidak memilih. Kali ini aku memilih Hillary,’’ kata Jorge, yang turut berkampanye di dekat tempat early voting di International Mall Library, Doral, sebuah kota di pinggir Miami, Florida, Jumat (11/5) waktu setempat.
’’Aku memilih karena aku tak bisa membiarkan orang yang menghina Hispanik menjadi presiden,’’ tegas Jorge yang ketika itu membawa poster Adriana Moyano, calon dewan kota Doral dari Partai Demokrat.
Tapi, tidak semua Latinos memilih Clinton. Jawa Pos menjumpai Barbara, 27, ibu satu anak keturunan Puerto Rico. ’’Aku memilih Trump karena dia tidak setuju dengan aborsi. You know, aku rajin ke gereja,’’ kata Barbara yang mendukung Carlos A. Gimenez, wali kota Miami-Dade County dari Partai Republik, agar terpilih kembali.
Dia juga mendukung Trump karena menganggap nomine Partai Republik itu tidak menyukai pernikahan sejenis. ’’Aku tidak membenci LGBT. Namun, mereka tidak bisa berhubungan di depan Tuhan,’’ ujarnya.
Wajah Latinos lainnya adalah Josephine, 27. Pemilik manajemen kondominium itu memilih jalan berbeda dengan mendukung Dr Jill Stein, capres perempuan dari Partai Hijau. Pilpres AS memang tidak hanya diikuti Hillary Clinton dan Donald Trump. Kandidat dari Third Party (sebutan partai non-Republik dan Demokrat) juga turut meramaikan.
Selain Stein, ada Darrel Castel dari Partai Konstitusi. Keduanya bisa dipilih di lebih dari 40 negara bagian. Selain itu, ada mantan Gubernur New Mexico Gary Johnson yang bisa dipilih di semua negara bagian plus DC.
Selebihnya, ada 26 capres dari Third Party dan independen yang hanya bisa bertarung di kurang dari 20 negara bagian. Hanya Stein dan Johnson yang namanya muncul dalam polling nasional.
’’Demokrat maupun Republik tak bisa menawarkan calon yang menyelesaikan persoalan,’’ kata Josephine. ’’Aku tak bisa memilih Hillary. Namun, aku tak mungkin mendukung Trump,’’ tambahnya.
Dia menyebut contoh program lingkungan yang ditawarkan kedua kandidat. ’’Trump sudah jelas tidak menganggap perubahan iklim itu ada,’’ ulas Josephine. ’’Hillary menyadari ada (problem climate change, Red). Namun, tidak ada program yang lebih konkret selain memberikan jalur buat pesepeda,’’ keluhnya.
Pilih Dekat Mal atau Pantai
Selain dipicu rivalitas Hillary Clinton dan Donald Trump yang amat panas, banyaknya pemilih terdaftar kali ini disebabkan kemudahan memilih. Sejumlah negara bagian yang menggelar early vote berusaha melayani warganya agar mudah memberikan suara lebih dini.
Misalnya yang dialami Luz, 35, warga Miami yang memberikan suara di Miami Beach City Hall, Jumat (4/11) waktu setempat. Dengan sepeda Trek biru, dia menuju tempat pemungutan suara (TPS). ”Enak (vote, Red) di sini, bisa sambil melakukan hal lain,” katanya setelah memberikan suara di gedung yang hanya berjarak 15 menit dengan berjalan kaki ke South Beach, Miami.
Tidak jauh dari TPS, warga masih bisa berkampanye untuk mendukung kandidat masing-masing. Hanya ada garis khusus yang membatasi mereka agar tidak bisa mendekati tempat pemungutan suara. Kampanyenya juga bebas. Boleh membentangkan poster-poster. Bisa juga berteriak-teriak dengan megafon. Asal tidak ada yang protes karena berisik sih oke saja.
”Siapa tahu, ada yang belum punya pilihan,” kata Nuno, 40, yang berkampanye untuk Clinton di TPS International Mall Library, Doral. TPS itu terletak di dekat International Mall, pusat perbelanjaan di pinggir kota Miami. Di sekelilingnya, ada Macy’s, GAP, serta PINK Victoria Secret.
Selain memilih presiden, para pemilih turut menentukan senator, anggota DPR, anggota dewan kota, hingga wali kota. Di Miami, pemungutan suara dalam early voting dilakukan secara digital maupun manual. Pemilihan secara digital dilakukan dengan layar sentuh di monitor. Sedangkan pemilihan secara manual dilakukan dengan mengarsir tanda panah ke titik yang ditentukan.
Florida punya pengalaman kontroversial ketika George W. Bush dari Partai Republik dan Al Gore (Demokrat) bersaing sangat ketat dengan selisih suara supertipis pada pilpres 2000. Penghitungan suara ulang (yang akhirnya dihentikan MA dan Bush terpilih) dilakukan karena terjadi anomali. Pat Buchanan, calon dari Partai Reformasi, mendapatkan suara signifikan. Kala itu ada anggapan bahwa suara tersebut diraih karena pemilih salah mengarsir.
Di Miami, tidak boleh ada pemotretan di dalam tempat pemungutan suara. Para pemilih juga dilarang mengambil gambar dengan ponsel. Kondisi itu berbeda dengan di Chicago. Jawa Pos yang pekan lalu berkujung ke kota itu bisa bebas memotret di dalam TPS yang terletak di 15W Washington St, Chicago, tersebut. (JPG)