eQuator.co.id – Pontianak-RK. Gas elpiji 3 kilogram bersubsidi yang sejatinya diperuntukan bagi masyarakat miskin, ternyata turut dinikmati orang berpenghasilan lebih. Ini akibat penyaluran yang tidak tepat sasaran.
Gas elpiji 3 kg telah digunakan sekitar 58 juta kepala keluarga atau setara dengan 232 juta jiwa. Padahal jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa. Sehingga ada sekitar 90 persen rakyat Indonesia yang menikmati gas bersubsidi tersebut.
“Ternyata sudah lama tidak tepat sasaran. Padahal masih ada beberapa provinsi yang belum dilakukan program konversi minyak tanah ke gas tabung tiga kilogram, seperti NTT, Maluku dan Papua,” ungkap Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria, Jumat (4/11).
Dia memastikan, elpiji bersubsidi telah menjadi alat bisnis bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Mereka mengoplos gas bersubsidi ke dalam tabung 12 kg dan 50 kg.
“Kemudian, dijual dan digunakan oleh golongan mampu dan industri,” ulasnya.
Lebih paraknya, kata dia, pemerintah terkesan mendiamkan praktik-praktik para pengoplos memakan uang subsidi rakyat miskin.
“Terjadinya pengoplosan gas bersubsidi ke tabung 12 kilogram ke atas disebabkan faktor disparitas harga yang sangat lebar di samping lemahnya aspek pengawasan,” paparnya.
Dijelaskan dia, sejak 2001, harga eceran tertinggi (HET) gas bersubsidi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp4.250 per kilogram. Sementara harga jual gas nonsubsidi pada posisi harga minyak dunia di sekitaran 45 dolar AS per barel atau sekitar Rp10.500/kg. Sehingga pengoplos bisa mengeruk keuntungan sekitar Rp5.000/kg.
“Mengecilkan disparitas harga jual untuk menghindari pengoplosan dengan memaksa Pertamina menurunkan harga jual gas nonsubsidi mendekati harga jual gas bersubsidi adalah tindakan tidak solutif, karena sekecil apapun disparitas harga gas tetap memancing minat pengoplos untuk tetap melakukan pengoplosan,” papar Sofyano.
Ia menyarankan pemerintah agar menyalurkan gas bersubsidi setidaknya warga yang selama ini telah tercatat sebagai penerima beras miskin (Raskin). Menurutnya, itu akan lebih bisa diterima oleh setiap pihak ketimbang membuat parameter lain tentang apa yang dimaksud dengan orang miskin atau rentan miskin. “Selama ini pendistribusian Raskin pun terbukti terselenggara dengan baik,” pungkasnya.
Pendistribusian gas bersubsidi untuk orang miskin harus melibatkan. Ini menjadi domain Kementerian Sosial dan di bawah kendali Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia.
“Penetapan yang berhak sebagai pengguna gas bersubsidi bagi orang miskin dengan data Raskin, maka akan punya efek psikologis yang bisa membuat malu orang,” kata Sofyano.
Sofyano menambahkan, sudah saatnya harga jual gas bersubsidi dikoreksi. Paling tidak mendekati harga jual gas nonsubsidi. Namun pemerintah harus menjamin bahwa HET gas bersubsidi, berlaku sama di seluruh wilayah NKRI.
“Selain itu, sudah saatnya pemerintah menjelaskan, bahwa sekitar 70 persen gas yang digunakan saat ini berasal dari impor. Serta harganya juga bergantung dengan biaya distribusi, pajak, margin SPBE, agen dan pangkalan,” demikian Sofyano.
Laporan: Gusnadi
Editor: Arman Hairiadi