eQuator.co.id – Pontianak-RK. Sebagai kota yang minim lahan perkebunan dan pertanian, Kota Pontianak cenderung menjadi pasar bagi kebutuhan pangan. Kondisi ini pun membuat mayoritas masyarakatnya lebih mengandalkan pasokan komoditi pokok dari luar kota.
“Kita konsumen, bukan produsen,” kata Ketua Dewan Ketahanan Pangan Kota Pontianak, H Sutarmidji SH MHum usai membuka rapat koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Kota Pontianak 2016, Rabu (26/10) di Aula Rohana Mutholib Kantor Bappeda Kota Pontianak.
Guna mensinergikan program aksi pangan dan gizi menuju kedaulatan pangan oleh pemerintah, pria yang juga menjabat Wali Kota Pontianak ini mengaku tengah menjalankan beberapa strategi. Salah satunya dengan mengkampanyekan makan harus habis kepada masyarakat.
“Kita sekarang mulai mengkampanyekan makan habis, jangan sampai terbuang, karena menurut data yang pernah saya baca, makanan sisa yang tidak dimakan saat makan (rata-rata, red) itu mencapai 7-8 persen, kan sayang. Bayangkan makan nasi, terbuang,” ujarnya.
Sutarmidji mengakui bahwa strategi Pemkot dengan makan harus habis ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Dia hanya menyegarkan kembali kearifan lokal masyarakat dan petuah orangtua Melayu zaman dahulu.
“Sehingga kampanyekan lagi kearifan lokal masyarakat kita. Dulu kalau ibu kita lihat ada satu butir saja nasi yang jatuh, dibilang nasinya bisa nangis,” ucapnya.
Selain meminta masyarakat agar tak mubazir dengan makanan. Pemerintah Kota Pontianak juga tengah mulai mengkampanyekan kurangi makan beras.
“Karena kita (Indonesia) paling tinggi dalam hal konsumsi beras, per tahun mencapai 124,7 kilogram per kapita, kalau Thailan hanya 90-an, Vietnam lebih rendah,” jelasnya.
Dengan mengurangi konsumsi beras, masyarakat bisa mendiversifikasikan dengan makanan lain yang lebih murah, namun tetap secara takaran gizi dan kalorinya sama dengan beras.
“Diversifikasi (penganekaragaman) makanan pokok itu penting, tapi saya minta jangan sampai mengganti makan beras dengan makanan lainnya, tapi makanan penggantinya itu lebih mahal, itu tidak pas. Carilah makanan pengganti beras, yang kandungan kalorinya, gizinya yang dibutuhkan tubuh kita tidak berkurang. Itu yang butuh dikembangkan oleh Dewan Ketahanan Pangan,” imbuhnya.
“Contoh seperti (makanan) bubur pedas, bagus itu, makanan tradisional warisan orangtua kita dulu bagus,” timpal Sutarmidji. (fik)