Otak TPPO asal Sukabumi Bersuami Tiga, Satu di Malaysia

KALUT. Tersangka Leni tak kuasa menahan malunya dan menangis histeris hingga pingsan saat polisi merilis kasus perdagangan orang dengan tersangka dia dan ibunya di Polsek Pontianak Selatan, Senin (5/9). Kedua Tersangka yang merupakan Ibu dan Anak ini hanya tertunduk diam ketika ditanyai para wartawan. Junius Ambrosius-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Syarifah Nuraini alias Leni, satu di antara tiga tersangka dalam kasus perdagangan empat orang yang mana tiga masih bawah umur asal Sukabumi, Jawa Barat, ke Malaysia, akhirnya diringkus unit Reskrim Pontianak Selatan, di Terminal Bus Antar Negara, Sungai Ambawang, Kubu Raya, Minggu (4/9).

Saat itu, Leni baru tiba dari Malaysia. Ia merupakan anak kandung Nani (47 tahun) yang terlebih dulu ditangkap bersama Jamaludin, saat penggerbekan di rumah yang menampung empat calon tenaga kerja Indonesia (TKI) tersebut di Jalan Tanjung Pura, Gang Bayu, Pontianak Selatan, Kamis (1/9) lalu.

Kapolsek Pontianak Selatan, AKP Ridho Hidayat mengungkapkan, penangkapan terhadap Leni ini setelah dilakukan pemancingan. “Saat kita gerebek rumah ibunya di Gang Bayu itu, ia tidak berada di tempat. Setelah diselidiki, dia berada di Sarawak, Malaysia. Kemudian, Leni dipancing melalui Ibunya. Dan akhirnya dia ditangkap di Terminal Internasional Ambawang,” jelas Ridho, Senin (5/9) siang.

Siang itu, Leni pingsan di hadapan kepolisian dan sejumlah wartawan sesaat rilis kasus akan dimulai. Ia tak kuasa menahan malu ketika ditanyai awak media. Wanita berusia 26 tahun ini diketahui telah malang melintang hidup sebagai TKI di Malaysia. Dia juga mengakui memiliki tiga orang suami. Salah satunya adalah warga negara Malaysia. Sementara, dua suami lainnya warga Sukabumi dan Pontianak.

Sehingga, kuat dugaan kepolisian, ibu dan anak itu sebagai otak dalam aksi kejahatan perdagangan orang selama ini. Meski mereka mengaku baru dua kali mengirim TKI secara ilegal ke Malaysia.

“Ini masih akan terus didalami. Tidak menutup kemungkinan sudah dilakukannya berulang kali. Kita juga akan kembangkan kepada pihak-pihak lain seperti agen TKI. Apakah saling bekerjasama atau tidak,” terang Ridho.

Selain itu, dengan pengakuan Leni bahwa ia bersuamikan warga jiran, menguatkan dugaan adanya permintaan pekerja Indonesia dari sindikat perdagangan orang yang berada di Malaysia. Maka dari itulah, tersangka ibu dan anak asal Sukabumi tersebut mencari tenaga kerja dimulai dari kampung halamannya terlebih dahulu.

“Awalnya, kedua anak dan ibu ini mencari pekerja di Sukabumi. Setelah bertemu dengan Jamaludin, yang sama-sama sekampung, mereka meminta untuk melakukan perekrutan dengan janji akan kerja di restoran Pontianak dan iming-iming gaji Rp 3 juta perbulan,” jelasnya.

Setelah dibawa ke Pontianak dengan menumpang salah satu maskapai penerbangan, keempat korban ternyata tidak langsung dibawa ke Malaysia. Tapi ditampung sembari menunggu permintaan dari Malaysia.

“Terkait adanya dugaan keterlibatan warga Malaysia dalam sindikat perdagangan orang ini, masih kita lakukan pengembangan,” tegasnya.

Sedianya, pengungkapan kasus ini berawal dari informasi DR, salah satu anak bawah umur yang akan dikirim tersangka ke Malaysia. Ia berhasil kabur dari tempat penampungan tersebut. Selama di rumah itu, mereka berempat dikekang tak boleh kemana-mana.

“Korban lari dan bertemu dengan anggota Babin Kamtibmas kita. Korban mengaku bahwa berasal dari Sukabumi dan kami cocokkan dengan LP dari Polres Sukabumi. Ternyata benar korban yang dimaksud dalam LP tersebut,” beber Ridho.

Kepolisian langsung menggerebek rumah di Gang Bayu itu. Ditemukan Nani dan Jamaludin, tersangka penampung TKI ilegal dan tiga calon pekerja yang akan dikirim ke Sarawak, Malaysia, selain DR. Yakni NO (25), ET (17) dan RS (17).

Laporan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tersebut, kata Ridho, dibuat orangtua DR, Yunadi, di Polres Sukabumi pada Kamis, 1 September 2016. Dalam laporan itu disebutkan korban meninggalkan rumah di Kampung Jambatan Dua, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, tanpa pamit sejak Minggu 28 Agustus 2016, pukul 10.00 WIB.

Sejak pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, pihak keluarga terus mencari korban yang tiada kabar dan susah dihubungi. Rupanya, Ponsel korban dijual untuk biaya makan selama di penampungan. Sampai akhirnya, korban diketahui berada di Kalbar oleh kakak korban, Neng Nur Janah, atau anak pertama Yunadi.

Kabar tersebut diteruskan ke orangtua mereka, yang kemudian terus mencoba menghubungi kepolisian untuk memastikan keberadaan anaknya. Akhirnya, Yunadi mendapat pengakuan dari DR bahwa ia dibawa oleh Jamaludin dan Nani untuk diperkerjakan di salah satu restoran di Malaysia.

“Korban mengaku kepada orangtuanya, ia diimingi gaji Rp3 juta perbulan untuk bekerja di restoran,” jelas Kapolsek Ridho.

Mendapat pengakuan itu, Yanudi langsung membuat laporan ke Polres Sukabumi. “Berdasarkan laporan itu yang dikoordinasikan ke kami, kami pun bergerak melakukan serangkaian penyelidikan lagi,” terangnya.

Berbekal surat perintah tugas dan geledah, rumah penampungan TKI itu digerebek. Tidak ditemukan dokumen resmi dari tersangka atau agen TKI ini. Sehingga, Ridho memastikan bahwa keempat orang di rumah penampungan itu merupakan TKI ilegal.

“Akhirnya mereka, baik korban maupun tersangka, kami amankan ke Mapolsek untuk dimintai keterangan lebih lanjut,” paparnya.

Sedianya, dari Sukabumi, DR dibawa ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta untuk diterbangkan ke Kalbar. Menurut Kepala Desa Loji, Kecamatan Sampenan, kata Ridho, ia sempat ikut mengantar DR ke bandara.

“Keterangan Kepala Desa tak lain mertua dari ayah korban, Yanudi, ia ikut mengantar korban tanpa sepengetahuan orangtua,” lanjut Ridho.

Rupanya, para korban dilarang oleh tersangka untuk izin kepada orangtua masing-masing. Ridho mengatakan, pihaknya hanya mem-backup dalam pengungkapan kasus ini. Karena tempat kejadian perkara atau locus delicti-nya berada di Sukabumi.

“Polres Sukabumi sudah kita informasikan setelah penangkapan ini, dan kasus ini akan ditangani di sana,” katanya.

Dari hasil pemeriksaan sementara, ketiga tersangka mengakui telah melakukan tindak pidana tersebut. Ridho menegaskan, para tersangka dapat dijerat Pasal 2 (1) dan Pasal 1 UU Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara 3 sampai 10 tahun.

Sementara itu, beberapa hari terakhir terjadi pencegahan lebih dari dua puluh orang yang akan menyeberang border batas negara. Para pria dan wanita ini berencana bekerja di Malaysia.

Kini, sebagian dari mereka ditampung di shelter Balai Pelayanan Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Pontianak. Kasi Perlindungan dan Pemberdayaan BP3TKI Pontianak, Andi Rahim melalui stafnya, Reinhard menyebutkan, penempatan di shelter ini menunggu proses penyelidikan lebih lanjut oleh pihak kepolisian.

“Ada indikasi mengarah pada TPPO, karena ada anak di bawah umur yang jadi korban,” kata Ipda Bambang Irawan, penanggung jawab Shelter, Sabtu (3/9).

Senin (5/9), Rakyat Kalbar mencoba menelusuri tren ini lebih jauh dengan meminta informasi dari Polda kalbar. Data Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dilansir oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar melalui Kasubdit IV Remaja Anak dan Wanita (Renakta), AKBP Suryanti (lihat grafis).

“Semua kasus ini sedang kita proses,” tegas Suryanti. Delapan kasus sudah sampai tahap dua sedang satu kasus masih di tahap satu. Dua kasus pada tahap penyelidikan, tiga lainnya dalam penyidikan.

Kapolda Kalbar, Irjen Pol Musyafak melalui Kabid Humas Polda, Kombes Pol Suhadi menyampaikan kondisi ini banyak menimpa orang-orang dengan pendidikan rendah. “Belum lagi adanya kesenjangan negara asal dan negara tujuan dalam hal lapangan kerja. Padahal, jika dicermati, ada banyak lapangan kerja di indonesia,” terangnya.

Karena itu, ia meminta edukasi dan komitmen semua pihak terutama pemuka masyarakat untuk memberitahu warganya. “Bahwa lebih baik bekerja di tanah sendiri saja daripada jadi budak di negeri orang,” tutup Suhadi.

Laporan: Junius Ambrosius, Ocsya Ade CP, dan Marselina Evy

Editor: Mohamad iQbaL