Sertifikasi Halal Tak Rumit, Tapi, Apa Pelaku Usaha Mau?

ilustrasi.net

eQuator.co.id – Seorang pengusaha jujur mengakui, kalau hanya berharap kepada konsumen nonmuslim, enam bulan saja restorannya yang berkelas atas di Kota Pontianak dipastikan tutup. Karena itu, warung mitiau atau chaikwee lebih bisa menangguk untung dari lebih banyak konsumen muslim.

Sedangkan, bubur ikan dari resto sampai kaki lima lebih menjaring konsumen nonmuslim karena tak ada jaminan kuliner ini tanpa minyak babi. Walaupun sempat ada yang menulis besar: HALAL, tak lama hilang dicabut sendiri.

Walhasil, sertifikasi label halal penjualan makanan minuman di Kota Pontianak masih patut dipertanyakan. Mayoritas pelaku usaha makanan di kawasan pasar kota dari Jalan Gajah Mada, Jalan Diponegoro, Patimura, hingga sepanjang Jalan Tanjungpura, masih nonmuslim. Tapi serbuan warung lamongan kian deras, cukup mendesak. Sementara, restoran/warung Padang sejak lama berdampingan. Toh, masih ramai-ramai saja walau tak punya sertifikasi halal.

Novianti, Public Relation Food Muslim Indonesia (FMI), melacak sedikitnya tiga tempat usaha di Kota Pontianak yang menyajikan makanan diduga melanggar UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal (JPH).

“Sampai hari ini tidak ada yang bertindak. Padahal jelas sesuai dengan UU JPH ancaman hukumannya lima tahun penjara dan denda Rp2 milyar. Tetapi untuk tempat-tempat itu masih dibiarkan,” ungkapnya.

Pelanggaran dimaksud Novianti, menyajikan bir dengan atau dalam makanan yang disuguhkan kepada konsumen. Kemudian berani memasang label halal, tetapi tidak ada sertifikasi halal.

“Bahkan ada salah satu toko roti (bakery) melakukan pelanggaran dalam pembuatannya dan itu tidak dapat dikatakan halal. Tapi semua masih diam membisu,” bebernya.

Sudah dilaporkan kepada pihak berwenang namun tidak ada tindakan. Karena itu dia mengajak seluruh pihak untuk turun dan memberikan tindakan tegas kepada oknum pelaku usaha yang tidak dapat menjamin kehalalan jualannya.

“Tidak bisa hanya bicara di meja ini. Ayo sama-sama turun ke lapangan dan mengambil tindakan. Karena hanya ada dua pilihan saja, bergerak atau berdiam diam saja,” tegasnya.

Novianti mengatakan, ini bukan persoalam biasa, tetapi masalah umat Islam yang perlu mengetahui halal dan tidaknya makanan yang dikonsumsi. Temuan FMI Pontianak bahwa ada sebuah cafe di Kota Pontianak yang banyak dikunjungi umat muslim itu, tetapi piring-piringnya itu dijilati oleh hewan yang haram bagi umat muslim.

Merasa sedih dia, kala melihat umat muslim mendatangi tempat makanan yang tak diketahui kehalalannya itu. “Harus ada penanganan cepat untuk hal ini (semua pihak,red),” tuturnya.

Seorang pelaku usaha yang hadir dalam pertemuan di Kantor Wali Kota setuju diberlakukannya dan dilakukan eksekusi pelanggaran UU JPH. “Ya kita setuju. Ditindak tegas saja. Biar ada efek jera untuk pelaku usaha yang seperti itu,” ujar Indra, Owner Kopi Wak Somet.

Menurutnya, terkait sertifikasi halal, dia berharap Food Muslim Indonesia memberikan penyuluhan, sosialisasi tentang halal haram makanan agar kelalaian dinihilkan. “Jadi pemahaman dari Food Muslim Indonesia ini berguna bagi pelaku usaha, tidak hanya yang muslim tetapi pelaku usaha non muslim pun dapat  memahaminya,” tambah Indra.

TIDAK SULIT

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Provinsi Kalimantan Barat, Nora Idiawati, membenarkan belum ada penegakan aturan terkait UU nomor 33 tahun 2014 tentang JPH di Kota Pontianak. Meskipun, sudah ada Perda Restoran yang dapat menindak berkaitan dengan sertifikasi halal.

“Penegakan hukum menjadi salah satu faktor, yakni tidak ada efek jera pelaku usaha. Kedepan penegakan hukumnya harus bersinergi,” ujar Nora Idiawati usai pertemuan yang membahas sertifikasi halal kepada sejumlah wartawan, Kamis (18/8).

Dijelaskan dia, dalam penegakan hukum sertifikasi halal ini, adalah tanggung jawab pihak pemerintahan (Sat Pol PP) termasuk kepolisian. “Perdanya itu ada, tentang restoran wajib sertifikasi halal. Tapi belum ada penindakan hingga saat ini,” ujarnya.

Ia membantah jika dikatakan proses yang lama dan biaya besar untuk mendapatkan sertifikasi label halal, baik itu untuk produsen maupun UMKM yang ada di Kota Pontianak. “Tidak lama. Seminggu saja ada yang jadi. Intinya itu komitmen dari yang mengajukan sertifikasi halal itu,” tegasnya.

Karena itu, kata Nora, label halal tidak sekedar tulisan atau ucapan tetapi harus dilakukan penelitian. Sehingga, ketika pelaku usaha mendaftarkan bidang usahanya untuk mendapat sertifikasi halal, pihaknya akan turun melakukan audit dan menggelar rapat di Komisi Fatwa MUI. “Tentunya jika ingin mendapatkan label halal, harus bersyariat Islam,” ingatnya.

Laporan: Achmad Munzirin

Editor: Mohamad iQbaL