Dipaksa Angkat Kaki dari Rumah Sendiri

Masyarakat Kubu Mohon Belas Kasihan Komnas HAM Suhadi Bantah Polisi ‘Jemput’ Warga Tak Sesuai Prosedur

TUNJUKKAN SURAT PENANGKAPAN. Purwaningsih, istri dari Katin, --warga yang ditangkap Polda Kalbar karena diduga menprovokator korflik antara PT Sintang Raya, menunjukkan surat penangkapan disela-selanya melakukan aksi di Komnas Ham Perwakilan Kalbar, Senin (01/08) pagi-OCSYA ADE CP

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kacamata hitam tak mampu menyembunyikan air mata Jaini. Sambil menggendong putra bungsunya yang baru berusia 2 tahun, Achmad, pria 40-an tahun menuturkan kisah sedih yang menimpanya pekan lalu. Sabtu (31/7), Jaini harus melarikan diri ke hutan.

“Saya bawa anak saya lari ke hutan di belakang rumah, katanya saya mau ‘dijemput’,” ujarnya lirih di halaman kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Kalbar, di Pontianak, Senin (1/8).

Ya, Jaini satu diantara ratusan warga di Desa Olak-olak, Kecamatan Kubu, Kubu Raya, yang terpaksa angkat kaki dari rumahnya sendiri karena ketakutan akan ditangkap Polres Mempawah. Mereka dituding telah melakukan pencurian sawit di atas tanah yang diklaim PT Sintang Raya.

Kemarin, bersama sekitar 50-an warga Olak-olak, Jaini memohon belas kasihan dari Komnas HAM Kalbar. “Saya tidak tidur malam itu. Anak saya ini (sambil mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil anaknya,red) tidur di pangkuan saya. Kite kan was-was gak. Cuman (hanya,red) dari tempat saya sembunyi, ndak bisa dengar suasana rumah, karena agak jauh ke dalam hutan,” lanjut dia.

Dalam bayang-bayang ketakutan akan keselamatan diri dan anaknya, dia lupa membawa apa-apa. Hanya baju yang melekat di badan.

“Jam satu malam, dia minta susu. Nangis,” tutur Jaini. Dua baris air mata mengalir di pipinya.

Pada pukul tiga pagi, Jaini menyerah. Dia khawatir dengan kesehatan bayinya. “Saya paksakan diri untuk pulang. Kalau mau tangkap, tangkaplah,” pasrah dia.

Ketika kembali ke rumah, kediamannya itu sepi. “Saya pun ndak tahu anak saya yang SMP ada di mana. Saya kan hanya hidup bertiga, istri saya sudah meninggal,” terangnya.

Akhirnya, dia menyusul warga setempat yang telah mengungsi ke beberapa desa lain dan Kota Pontianak sejak beberapa hari sebelumnya. “Sampai sekarang juga khawatir. Isu-isu masih berkembang, di Desa Olak-olak sementara ini masih belum aman,” tukas Jaini.

Mengungsi pun tak juga membawa kedamaian. “Saya kepikiran rumah, yang tidak tekunci. Karna saya merasa terancam ndak berani pulang,” ucapnya.

Di sudut lain kantor Komnas HAM, putri Katin dan Purwaningsih, Dian duduk semakin menyembunyikan diri di sebelah kaki ibunya. Gadis kecil itu tampak ketakutan melihat orang di sekelilingnya semakin ramai.

“Dia masih trauma karena dia liat bapaknya dibawa polisi secara paksa,” jelas Pur, karib Purwaningsih dipanggil.

Mengalirlah cerita miris dari wanita umur akhir tigapuluhan ini.”Bapak itu sedang sakit. Datang polisi tiga orang meminta bapak untuk ikut dengan mereka,” tutur Pur seraya menerawang mengenang hari gelap dalam hidupnya itu.

Suaminya, Katin, sempat memohon waktu untuk berobat. “Tapi ndak dipedulikan (polisi,red). Bapak berontak, bapak dicekik. Sampai depan pintu bapak diborgol,” lanjutnya, tersedu.

Dian tampak semakin ketakutan. Dia trauma, terbayang ketika peristiwa itu diceritakan lagi. “Ditangkapnya jam 14.00 atau sekitar jam 15 lewat (pekan lalu,red) gitulah,” kata Pur lagi.

Mungkin, kasus kekerasan saar penangkapan oleh polisi yang dialami Katin bisa dipraperadilankan. Pasalnya, Pur menyatakan surat penangkapan Katin tiba di rumahnya dua hari setelah penangkapan.

“Surat itu yang terima anak saya Kris (12 tahun),” lanjutnya, sambil menunjukkan surat penangkapan Katin. “Soal demo saya hanya ibu rumah tangga biasa, gak paham. Bapak ada ikut pertama kali,” sambung dia.

Pur dan anak-anaknya sudah mengungsi sejak hari Selasa (26/7).

Salah seorang warga lainnya, Suwarno, juga menyampaikan ketakutannya. “Ada isu mau ada penjemputan 30 orang lagi. Takut karena kasar sekali mereka saat mau menangkap. Bahkan sangat sadis. Dicekeklah, dicampakkanlah, sampe mau buang air kecil jak tak bisa,” terangnya menggambarkan penjemputan Katin.

Dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Kalbar, Suhadi SW membantah kepolisian melakukan aksi sweeping terhadap sejumlah masyarakat di Kecamatan Kubu pascademonstrasi dan penangkapan warga yang diduga sebagai provokator dan pelaku pencurian sawit. “Polisi sudah melakukan penangkapan sesuai prosedur yang berlaku dan tidak ada tindakan yang melanggar kemanusiaan,” terangnya.

Ditegaskannya, aksi demonstrasi yang berbuntut pemukulan terhadap polisi serta kejadian pengungsian massif ini tak lain merupakan hasutan dari kelompok atau LSM tertentu. “Ya seolah-olah warga masyarakat mengungsi kemana-mana, wong gak ada. Tidak ada yang mengungsi. Tata kelola mereka itu memang seperti itu. Memang itu diciptakan mereka. Makanya inilah sekarang polisi akan mendalami itu supaya ini terungkap semua. Ini unjuk rasa yang direkayasa oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan,” analisa Suhadi.

Sebelumnya, ratusan warga Olak-olak Kubu pada 23 dan 24 Juli 2016 melakukan aksi demonstrasi besar untuk menuntut hak mereka atas tanah yang diduduki PT Sintang Raya. Namun, dalam aksi itu, terjadi dorong-dorongan yang mengakibatkan seorang polisi terjatuh.

Keesokan harinya, sejumlah warga yang dianggap provokator diciduk polisi dari rumah mereka, karena tuduhan penganiayaan terhadap polisi, sehingga akhirnya ratusan warga desa itu meninggalkan rumahnya untuk mengungsi.

Menanggapi persoalan yang terjadi antara warga dengan PT Sintang Raya yang terjadi di Desa Olak-olak ini, Gubernur Cornelis meminta Bupati Kubu Raya Rusman Ali segera menyelesaikannya. Sebab, bupati yang mengetahui persoalannya.

“Apakah masalah lahan, pembagian plasma atau lainnya. Itukan menjadi kewenangan bupati,” ujarnya di kantor Gubernur, kemarin.

Kalau tidak mampu, Cornelis menegaskan, serahkan kepada gubernur. “Kita siap menfasilitasi, karena rakyat kita ini tidak susah mengurusnya. Yang penting kita transparan, begitu juga perusahaan harus transparan, karena tidak mungkin tidak ada sebab kalau rakyat itu marah,” tandasnya.

Terpisah, PT Sintang Raya membenarkan pihaknya telah melaporkan masyarakat ke Polres Mempawah karena diduga melakukan pencurian sawit yang mereka klaim merupakan HGU perusahaan. Tak tanggung-tanggung, menurut Legal PT. Sintang Raya, Herlen Sitorus, pencurian terjadi pada tanggal 9 dan 10 Juni 2016 serta tanggal 17 Juli 2016 dengan total kurang lebih 100 ton.

“Kami mendapat laporan dari kebun bahwa telah terjadi pencurian buah di dalam HGU khususnya di blok M dan N,” ujarnya kepada sejumlah wartawan, Senin (1/8) siang.

Dijelaskan Herlen, pencurian pada tanggal 9 dan 10 Juni 2016 diperkirakan sebanyak 62,800 ton TBS dan kemudian pada tanggal 17 Juli sebanyak 40 ton yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di blok M dan N yang kebetulan daerah tersebut berdampingan dengan Desa Olak Olak Kubu.

Tanggal 18 Juli 2016, lanjut Herlen, pihak perusahaan berhasil menghalau. Kemudian warga masyarakat menyurati pihak perusahaan akan melakukan aksi demonstrasi. Ia menduga pihak masyarakat diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu. Kemudian tanggal 23 Juli 2016, kata Herlen, pihak masyarakat mengirim surat ke Polres Mempawah berkaitan dengan aksi demonstrasi yang akan dilakukan kepada PT Sintang Raya.

Mendapat informasi tersebut, pihak perusahaan menyiapkan pengamanan dari pihak kepolisian. Dengan koordinasi kepala pihak kepolisian, Polsek Kubu dan Polres Mempawah. “Kami koordinasi dengan aparat meminta pengamanan. Kami siaga dan mengerahkan seluruh karyawan waktu itu. Kami juga tidak mau terjadi pencurian buah seperti sebelum-sebelumnya,” katanya.

Menerima pengaduan tersebut, pihak kepolisian merespon cepat. Menurut Herlen, masyarakat yang melakukan demo merupakan masyarakat yang terindikasi melakukan pencurian TBS dan tidak suka dengan keberadaan PT Sintang Raya. Kemudian, pada saat masyarakat akan menduduki wilayah HGU PT Sintang Raya dihadang oleh aparat dan sejumlah karyawan agar tidak terjadi kontak fisik.

“Masyarakat yang ada di situ bukan hanya warga Olak-olak, tapi ada dari kabupaten lain. Mereka yang semacam emosi memaksa menerobos barisan polisi. Kemudian terjadi kontak fisik dengan polisi dan terjadi pemukulan kepada anggota polisi,” terangnya.

Selanjutnya, pihak kepolisian melakukan penyelidikan terkait aksi pemukulan yang dilakukan masyarakat sekaligus melakukan penyelidikan terhadap kasus pencurian. Menurut informasi, kata Herlen, buah tandan segar tersebut kemudian di jual ke PT Rejeki Kencana. Namun dari hasil pemeriksaan, bukti fisik yang ditemukan hanya 62,800 ton. Karena saat ini buah tandan segara itu belum diolah oleh PT Rejeki Kencana.

Sementara itu, Kepala Komnas HAM Kalbar, Kasful Anwar menemui para pengungsi yang memohon bantuan pihaknya. “Kami akan melakukan tindakan andai kata itu sesuai dengan SOP yang kami laksanakan,” ujarnya.

Anwar juga mengharapkan masyarakat tetap tenang. “Nanti kalau ada yang melanggar hak asasi bapak ibu, lapor saja ke kami secara tertulis,” tambahnya.

Terkait dengan proses penangkapan orangtua yang dilakukan pihak kepolisian dengan disaksikan langsung oleh anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kubu Raya, Diah Savitri mengatakan siap mendampingi apabila diperlukan. “Kita berharap proses ini harus cepat selesai berkaitan dengan keamanan bagi anak karena menimbulkan trauma,” tutur Diah.

 

Laporan: Marselina Evy, Ocsya Ade CP, Isfiansyah, dan Ambrosius Junius

Editor: Mohamad iQbaL