Wiranto Janji Selesaikan Kasus HAM

Wiranto

eQuator.co.id – JAKARTA – Jendral TNI (Purn) Wiranto resmi menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan. Wiranto pun berjanji akan menyelesaikan persoalan kasus hak asasi manusia (HAM) yang selama ini sudah dimulai dilaksanakan kementerian tersebut.

Serah terima jabatan (Sertijab) jabatan Menko Polhukam dilaksanakan di ruang Parikesit kemarin (28/7). Banyak pejabat yang datang. Seperti Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, Panglima TNI Jendral TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Jendral Tito Karnavian, dan Jaksa Agung M Prasetyo.

Wiranto mengatakan, dia sudah mendapatkan briefing dari Luhut terkait program yang sedang dan akan dilaksanakan. Jadi, ia sudah bisa mengetahui langkah apa yang harus dilaksanakan. Menurut dia, Luhut sudah melakukan lompatan dan langkah cepat dalam memimpin Kemenko Polhukam.

Mantan Panglima TNI itu menyatakan, dia akan melaksanakan program yang sudah dilaksanakan. Termasuk penyelesaian masalah HAM yang sudah mulai dilakukan kementerian tersebut. Sebelumnya, lembaga tersebut sudah mengatakan simposium terkait kasus 1965. Pihaknya akan menyelesaikan masalah itu secara dengan baik. “Kami akan selesaikan secara adil, transparan dan bermartabat,” terang dia. Begitu juga masalah penyelesaian kasus HAM di Papua.

Terkait dengan penolakan beberapa elemen terhadap pengangkatannya menjadi Menko Polhukam, menurut dia, hal itu sudah biasa. Setiap kali dia naik atau saat mencalonkan diri menjadi Presiden, isu itu selalu muncul. Tentu, Presiden Joko Widodo sudah membertimbangkan secara matang dalam menunjuk dirinya sebagai menteri. Salah satunya, karena dia sudah berpengalaman.

Bagi pihak yang menyatakan bahwa dirinya melakukan pelanggaran HAM, dia pun meminta agar pihak tersebut menunjuk secara jelas kapan, dimana dan apa keterlibatan dirinya. “Saya akan jawab. Semuanya harus jelas,” terang dia. Jangan sampai hanya tuduhan sepihak.

Luhut mengatakan, Wiranto sudah berpengalaman. Sebelumnya, dia sudah pernah menjadi Menko Polhukam pada 1999 hingga 2000. Jadi, ini adalah kedua kalinya Wiranto menjadi pucuk pimpinan di kementerian itu. Dia yakin Wiranto mampu melaksanakan program yang ada, baik terkait penyelesaian masalah HAM atau program lainnya. “Beliau adalah senior saya,” terang pejabat asal Toba Samosir itu.

Sementara itu, sejumlah LSM berharap Wiranto bisa melanjutkan dan menuntaskan program-program kerja Luhut. Salah satu yang sangat krusial ialah reformasi sistem peradilan. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu belakangan ini instansi peradilan menjadi sorotan karena terbongkarnya kasus-kasus penyuapan.

Aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani mengatakan Wiranto harus menunjukkan kapabitasnya dengan mampu menyelesaikan reformasi peradilan. ”Sebenarnya cukup sulit karena latar belakang dia militer dan politik. Tapi ini tantangannya,” kata Julius.

Sebagai menteri yang mengkoordinatori bidang hukum, Wiranto juga harus berhasil menyelesaikan revisi KUHAP dan KUHP. Senada dengan Julius, peneliti Intitute of Criminal Justice Reform Supriyadi Widodo juga mendesak Wiranto menyelesaikan mafia peradilan.

Sorotan terhadap bekas kandidat presiden 2015-2019 itu bukan hanya datang dari dalam negeri. Amnesty International pun ikut mengkritisi keputusan Jokowi. Wakil Direktur wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International Josef Benedict mengaku bahwa langkah Presiden RI yang seakan menambah luka bagi aktifis HAM. Pasalnya, sebelum mengangkat Wiranto presiden juga mengumumkan soal eksekusi 14 terpidana mati.

’’Jokowi telah mempercayakan isu keamanan nasional terhadap orang yang terindikasi melakukan kejahatan terhadap HAM. Ditambah perintah hukuman mati, ini seakan mengolok-olok luka korban,’’ jelasnya.

Penolakan serupa juga disuarakan komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS). Mereka menolak pengangkatan Wiranto sebagai menkopolhukam. ”Kami menolak keras pengangkatan Wiranto,” kata Koordinator badan pekerja KontraS Haris Azhar kemarin.

Dia menyebutkan Wiranto yang diketahui luas berada di deret depan dari nama-nama yang harus bertanggungjawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM yang berat yang disebutkan dalam laporan Komnas HAM. Seperti Peristiwa penyerangan 27 Juli Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I & II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998, dan Biak Berdarah. ”KontraS bertanya secara langsung kepada Presiden dan Menteri Sekretaris Negara: Di mana letak profesionalitas,” ujar Haris.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat tak menampik kalau nama Wiranto memang kerap diduga berkaitan dengan kasus-kasus ham berat. Tapi, dia berharap masyarakat menggunakan asas praduga tak bersalah dalam menyikapi banyak hal. Termasuk soal keterlibatan Wiranto dalam kasus HAM berat. ”Kita juga menghargai, Pak Wiranto itu perwira militer yang reformis,” kata Imdadun.

Dia pun berharap Wiranto bisa menunjukan kemampuannya dalam penanganan kasus-kasus HAM berat. Termasuk kasus HAM yang ada di Papua. ”Pak Luhut sudah membuat beberapa akselerasi. Nah, pak Wiranto kini diharapkan bisa menyelesaikan,” imbuh dia.

Selama ini, memang beberapa negara terus menuntut agar Wiranto bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Baik Pemerintah Timor Leste dimana kasus tersebut terjadi, juga pemerintah yang aktif menyoroti penjahat HAM seperti pemerintah Amerika Serikat (AS).

Namun,Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir menolak adanya anggapan bahwa kinerja diplomatik Indonesia bakal terganggu karena isu tersebut. Meski tak menyatakan secara langsung, pria yang akrab disebut Tata ini mengaku bahwa hubungan dengan Timor Leste terus membaik.

’’Kami melihat ke depan bagaimana potensi yang bisa dilihat, bukan ke belakang,’’ ungkapnya. Dia pun mengungkapkan bahwa selama ini perdagangan kedua negara pada 2015 mencapai USD 217 juta (Rp 2,8 triliun). Sekitar 8.700 WNI pun saat ini tinggal di Timor Leste.

Hal tersebut pun ditegaskan oleh Juru Bicara Direktorat Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri AS Anna Richey-Allen. Menurutnya, pemerintah AS menghormati 12 menteri baru Indonesia sebagai hak veto dari Presiden. Dalam hal ini, pihaknya pun tetap melihat potensi untuk memperkuat kerjasama di masa depan.

’’Kami sadar tentang tuduhan pelanggaran HAM militer di rezim Wiranto. Kami pun sedang berkomunikasi soal tuduhan itu sesuai kebijakan luar negeri kami,’’ ungkapnya dalam keterangan resmi. (lum/gun/jun/bil)