Anak-anak Beting dalam Pusaran Peredaran Narkotika

Kampung Beting Pontianak Timur, beberapa waktu lalu. Ocsya Ade CP

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Orang Kalbar mana yang tak kenal Kampung Beting? Kawasan pesisir sungai di Kecamatan Pontianak Timur itu dikenal sebagai wilayah hitam peredaran dan penyalahgunaan Narkotika serta kejahatan lainnya. Sebuah stigma yang tidak gampang dihapus.

Tidak terhitung sudah berapa kali penggerebekan dan penangkapan pelaku kejahatan di Beting dilakukan kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN). Kendati begitu, kawasan ini tetap saja ‘primadona’ pengedar Narkoba untuk melancarkan bisnis haramnya.

Pemukimannya yang padat dan dibangun di atas air tepian Sungai Kapuas membuat polisi terkadang sulit mendapatkan barang bukti Narkotika. “Karena kerap dan mudah bagi pelaku untuk membuang barang bukti ke sungai. Hal itu yang kami temukan di lapangan,” ungkap AKBP Sigit Dedy Purwadi, Wakil Direktur Reserse Narkotika Polda Kalbar, belum lama ini.

Selain itu, lanjut Sigit, sejumlah rencana operasi penangkapan pun terkadang informasinya bocor duluan. “Akan tetapi, itu tidak mengurangi semangat kami untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran Narkoba di manapun dalam wilayah hukum Polda Kalbar,” tegasnya.

Ada yang lebih mengejutkan. Dari hasil penyelidikan dan penyidikan kepolisian terhadap sejumlah kasus dan tersangka Narkoba, didapati bandar Narkoba di sana tidak bekerja sendiri. Segelintir masyarakat dilibatkan dengan peran masing-masing demi keuntungan perdagangan barang haram itu.

Sampai-sampai, anak-anak setempat juga dipekerjakan oleh para pengedar ini untuk menjadi semacam perangkat intelijen yang bisa memberitahukan jika polisi atau BNN datang ke sana. Atau, melaporkan sejumlah informasi mencurigakan.

“Anak-anak dilibatkan jadi pengintai atau informan. Ketika melihat sejumlah petugas berpakaian bebas yang gerak-geriknya sudah dihafal, anak-anak harus melaporkan ke pelaku Narkoba yang membayarnya,” lanjutnya.

Kata Sigit, informasi dari anak-anak ini dihargai Rp20 hingga Rp25 ribu. “Dan itu dibayar langsung oleh para pengedar Narkoba,” beber dia.

Tidak hanya sebagai pengintai saja, anak-anak itu kerap dijadikan perantara antara pengedar dan sejumlah pemakai yang datang ingin menggunakan Narkoba. Tugasnya, menunjukkan dan mengantarkan langsung lokasi rumah pengedar Narkoba kepada pemakai.

“Namanya juga jaringan, menggunakan kaki tangan dia (bandar,red). Untuk mengamankan grup atau jaringannya dia, mungkin dia mempunyai orang-orang terpercaya untuk mengamati jikalau ada petugas, aparatur pemerintah lainnya, sehingga mereka bisa melarikan diri. Begitu,” ucap Sigit.

Bisnis Narkotika tak hanya menyangkut produknya saja. Di Beting, ia melanjutkan, ada peran lain yang melibatkan sejumlah masyarakat yang dibayar untuk jasa pembuatan bong (alat hisap sabu).

“Yang diolah dari bekas botol minuman. Ada beberapa rumah tangga yang menjadikan itu penghasilan atau mata pencaharian, mereka dihargai Rp5 ribu setiap satu alat untuk menghisap Narkoba yang dibuat mereka,” ungkapnya.

Meski kondisi perdagangan Narkotika sudah sekompleks itu, Sigit tak patah arang. Ia berharap, dengan kerapnya pengungkapan kasus Narkoba di kawasan Kampung Beting, masyarakat setempat yang tidak ikut-ikutan bisa menjaga dirinya. Dimulai dari lingkungan keluarga sendiri.

“Misalnya, harus melarang anak-anaknya untuk bekerja memberikan informasi kepada pengedar Narkoba. Kemudian, jangan mau membuatkan bong. Yang tidak terlibat, pertahankan. Namun yang sudah terlanjur terlibat, segeralah berhenti,” pinta dia.

Karena, ditegaskannya, sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, orang yang ikut membantu dalam peredaran dan penyalahgunaan Narkoba juga bisa dipidana. “Sangat disayangkan jika masyarakat yang sebenarnya bisa mencari mata pencaharian lain, malah digunakan sejumlah pengedar untuk membantu menjual Narkoba,” demikian Sigit.

BAGAIKAN BOM WAKTU

Bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kalbar, dilibatkannya anak-anak dalam proses pengedaran Narkotika merupakan hal yang harus diantisipasi dari sekarang. “Kita bisa bayangkan, saat masih kecil sudah terlibat (kejahatan,red), gimana besarnya? Ini sama dengan bom waktu. Tinggal menunggu meledak saja, baru kita semua kalang kabut,” tutur Hasanah, Wakil Ketua KPAID Kalbar, Minggu (24/7).

Menurut dia, jika tidak segera diambil langkah dengan akurasi mumpuni untuk mendapat solusi yang pasti, maka dampak luar biasa buruk akan dirasakan penerus bangsa di sana. “Kita cukup prihatin dengan anak kampung Beting yang berada di tengah tingkat peredaran Narkoba yang tinggi. Sangat disayangkan jika mereka yang masih kecil dilibatkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab,” ujarnya.

Kenapa anak-anak bisa terlibat? Analisa Hasanah, faktor keluarga yang kurang memberikan perhatian dalam hal-hal positif terhadap Sang Anak. Kemudian, tentu, lingkungan yang memang tidak mendukung untuk perkembangan anak.

“Sehingga hal ini membuat anak-anak di sana tidak dapat melakukan hal positif. Melakukan kegiatan yang mereka anggap asik untuk dikerjakan,” jelasnya.

Hanya saja, ia melanjutkan, perbaikan atas stigma kondisi kekinian Kampung Beting itu tak cuma berada di tangan pemerintah. Sebab, sambungnya, di sisi lain peredaran Narkotika di sana sumbernya bukan dari anak kecil. Justru orang-orang terdekat Sang Anak yang melakukannya.

“Ini memang dilematis,” ucap Hasanah.

Kata dia, solusi yang layak untuk menyelamatkan anak-anak Kampung Beting adalah mengubah stigma negatif di sana terlebih dahulu. Ini hal yang tersulit.

Yang kedua, menawarkan kepada anak-anak di sana kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan kontinyu dan komprehensif. “Ini tanggung jawab semua pihak. Karena anak-anak wajib dilindungi, dimana ini sudah diatur dalam UU Perlindungan Anak,” pungkasnya.

Nah, upaya merubah stigma Kampung Beting tak semestinya hanya ramai jadi omongan para eksekutif dan legislatif setempat ketika ada penggerebekan yang berujung temuan Narkotika saja. Atau, cuma berbentuk pembangunan perpustakaan semata. Pembinaan sewajarnya dilakukan kontinyu hingga ke dalam keluarga-keluarga di sana.

Laporan: Ocsya Ade CP dan Achmad Mundzirin

Editor: Mohamad iQbaL