eQuator.co.id – JAKARTA – Dirjen Migas Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, tahun depan harga minyak dunia diperkirakan berada di level menengah.
Yakni di kisaran USD 59 atau USD 60 per barel. Kemarin (13/7) minyak jenis Brent di pasar internasional masih dihargai USD 47,68 per barel. ’’Usulan ICP pemerintah sekitar USD 35–45 per barel,’’ ujarnya.
Selain harga ICP, pemerintah dan badan anggaran DPR menyepakati asumsi lifting minyak dan gas bumi tahun depan. Parlemen melihat adanya optimisme sehingga memutuskan asumsi lifting migas lebih tinggi daripada usulan pemerintah.
Khusus untuk ICP, harga rata-rata minyak mentah pada Juni dijual lebih murah daripada Mei. Ada penurunan sebesar USD 0,18, yakni dari USD 44,68 per barel menjadi USD 44,50 per barel. Artinya, harga itu turun USD 0,18 per barel dari Mei 2016.
Padahal, lanjut Wirat, rata-rata harga minyak mentah dunia pada Juni justru naik jika dibandingkan dengan Mei. Minyak Indonesia menguat karena pada bulan lalu ada koreksi harga minyak mentah Sumatera Light Crude di pasaran.
’’Harga SLC Mei meningkat cukup tajam dibanding April, sampai USD 12,21 per barel,’’ tuturnya.
Peningkatan harga terjadi karena ada penawaran yang tinggi terhadap SLC oleh trader minyak di pasaran. Meski minyak dunia lainnya seperti WTI, Brent, Basket OPEC juga meningkat, peningkatannya tidak sebesar SLC.
Ditjen Migas mencatat, peningkatan harga berkisar USD 4,31 hingga USD 5,67 per barel. Harga ICP yang turun tidak membuat pihaknya menghentikan rencana menerapkan formula baru dalam menghitung minyak Indonesia.
Kementerian ESDM memang ingin memasukkan unsur harga minyak Brent dalam perhitungan ICP.
Selama ini formula penghitungan ICP yang digunakan pemerintah hanya berdasar pada perhitungan firma Platts dan RIM. ’’(Formula baru ICP) berlaku akhir bulan ini. Tinggal menunggu keputusan menteri saja,’’ ucapnya. (dim/jos/jpnn)