Perbatasan Bukan Lagi Daerah Belas Kasihan, Produk Malaysia Jadi Raja

PRODUK MALAYSIA. Salah satu toko di Simpang Balai Sebut Kecamatan Kembayan, Sanggau yang menjual produk Malaysia. WARGA FOR RAKYAT KALBAR

eQuator.co.id – Sanggau-RK. Produk dalam negeri sepertinya masih sulit bersaing, bahkan di dalam negeri sendiri. Khusus di wilayah perbatasan seperti di Kecamatan Kembayan, Sekayam dan Entikong, Sanggau, produk negara tetangga justeru jadi raja.

“Kalau kita lihat, barang ilegal asal Malayasia selama ini semakin merajalela masuk ke Kecamatan Kembayan. Termasuk minuman kaleng, diantaranya staut, orenjebom, lemonjin, benson, bawang putih, bawang merah dan bawang bombay,” kata Leo, warga Kembayan, Jumat (15/7).

Masuknya produk Malaysia, dikatakan Leo, karena pasokan dari Indonesia tidak mencukupi kebutuhan masyarakat wilayah perbatasan, termasuk di Kembayan. Meskipun begitu, dikatakannya, hal ini membuat kerugian negara, karena banyak barang dari Malaysia yang masuk ke Indonesia, tanpa melalui cukai negara.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sanggau, Abdul Rahim, SH meminta keran ekspor-impor dari Indonesia ke Malaysia dan sebaliknya, dibuka selebar-lebarnya. Seiring dengan regulasi MEA yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat.
“Kalau mau jujur, sekarang ini kan banyak produk Malaysia yang dilarang masuk. Tapi kenyataannya, masih banyak juga yang lolos. Tidak hanya di perbatasan, di Sanggau sampai di Pontianak juga banyak produk Malaysia. Aparat dan pengusaha kerap kucing-kucingan. Daripada seperti itu, baiknya dibuka lebar-lebar,” katanya.

Regulasi dan infrastruktur dalam menghadapi MEA, dikatakannya, memang sudah cukup baik. Akan tetapi masih lemah pada tataran implementasi. “Bagaimana kita mau siap menghadapi MEA, kalau masyarakat kita sendiri tidak diberikan kebebasan membeli dan menjual produknya di seberang (Malaysia). Bawa gula satu karung saja ditangkap. Apakah ini yang namanya MEA?” tanya Leo.

Karena persoalan itu, ia menilai pemerintah Indonesia sebagai pembuat kebijakan, belum siap menghadapi MEA. “Mestinya masyarakat diperbatasan itu diberdayakan, regulasi terkait MEA mestinya menyentuh kepentingan mereka juga. Intinya harus padu antara kebutuhan masyakarakat, khususnya di perbatasan dengan regulasi yang dibuat pemerintah,” jelas Leo.

Ketua DPRD Sanggau, Jumadi menyampaikan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadikan daerah perbatasan bukan lagi daerah belas kasihan. MEA telah mengubah posisi strategis daerah perbatasan. Khususnya yang berbatasan dengan negara-negara Asean lainnya, dari daerah pinggiran menjadi daerah sentral. Posisi strategis tersebut sangat menentukan posisi persaingan bisnis Indonesia dalam MEA. “Menentukan apakah Indonesia mendapat manfaat ataupun sekedar menjadi korban,” kata Jumadi.

Pemerintah saat ini mulai sadar akan pentingnya pendekatan kesejahteraan. Namun tindakan di lapangan, tampaknya baru pada tataran belas kasihan. Program pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan Indonesia saat ini belum menyentuh pada penuntasan kendala-kendala perdagangan. Kebanyakan baru mencapai taraf pembangunan infrastruktur dasar untuk mengurangi kekurangan yang ada. Pengembangan ekonomi dan perubahan pola pikir masyarakat pun belum tersentuh secara memadai.

“Mestinya pemerintah sudah mulai merubah pola pembagunan di perbatasan yang tidak hanya pada tataran fisik, tapi juga pendekatan lain yang lebih memajukan masyarakat perbatasan,” tegas Jumadi.

 

Laporan: Kiram Akbar