Keriang Bandong, Tradisi Ramadan yang Mulai Pudar

Terangi Jalan Meraih Lailatul Qadar

SEMARAK. Pengurus Masjid Nurul Yaqin dan Warga Gang Tanjung Harapan Jalan Imam Bonjol menyalakan keriang banding yang membuat suasana menjadi semarak, Sabtu (25/6) malam. Arman Hairiadi

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Kota Pontianak Kaya akan tradisi. Termasuk tradisi selama bulan puasa. Yang paling familiar meriam balok dan sotong pangkong. Selain itu, ada lagi satu tradisi yang dilakukan warga Pontianak saat Ramadan.

Tradisi yang dimaksud yaitu keriang bandong. Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini mulai pudar. Padahal keriang bandong memiliki banyak makna.

Di Gang Tanjung Harapan, Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Pontianak Tenggara, warga berupaya  menghidupkan kembali tradisi keriang bandong. Bertepat di sekitar Masjid Nurul Yaqin, pengurus masjid dan warga memasang pelita sebanyak 650 buah. Penerangan sebagai pengganti obor dan berbahan bakar minyak  tersebut dibuat dari botol kaca minuman energi. Lampu minyak ini lah yang disebut keriang bandong.

Keriang diambil dari kata sejenis hewan serangga yang menyukai cahaya. Sedangkan bandong diambil dari kata berbondong-bondong. Karena kebiasaan keriang selalu berbondong-bondong mendatangi pusat cahaya.

Pelita-pelita itu disusun pada sebuah bambu yang sebelumnya telah dirangkai. Ada yang berbentuk gerbang, pagar, dan lainnya. Malam hari ketika pelita-pelita dinyalakan api menjadikan suasana lebih semarak.

“Ini hasil swadaya masyarakat,” ujar H Bakrie Hasyim, Ketua Pengurus Masjid Nurul Yaqin kepada Rakyat Kalbar, Sabtu (25/6) malam kemarin.

Menurutnya,  pemasangan keriang bandong ini untuk melestarikan tradisi melayu Pontianak. Tradisi ini bahkan sudah ada sejak zaman kerajaan. Keriang bandong dipasang setelah malam Nuzulul Quran atau 17 Ramadan. Tepatnya 10 hari akhir bulan puasa.

Pada zaman dahulu, keriang bandong dimaksudkan untuk menerangi jalan kaum muslimin menuju masjid. Terutama di sepuluh akhir bulan Ramadan untuk menunaikan ibadah malam, baik Salat, Terawih, tadarus, tafakur atau ibadah lainnya. Sehingga keriang bandong ini sekaligus sebagai bentuk penyemangat muslimin untuk mengejar malam lailatul qadar. Yaitu malam yang sangat istimewa karena lebih baik dari seribu bulan. Allah SWT akan melipatgandakan pahala ibadah yang dikerjakan saat lailatul qadar. Makanya, ia berharap tradisi keriang bandong tidak tenggelam ditelan zaman dengan cara menghidupkannya kembali. “Sehingga anak cucu kita tau makna dari tradisi keriang bandong,” lugasnya.

Imam masjid Nurul Yaqin dan sekaligus Ketua RW 2 Gang Tanjung Harapan ini juga berharap bedug lebih budayakan. Sudah semestinya setiap masjid menyediakan bedug. Bukan sekedar jadi pajangan, tapi dapat dimanfaatkan untuk memberi tanda waktu berbuka puasa telah tiba. Saat masuk magrib, bedug dulu yang dibunyikan. Bukannya suara azan di radio melalui pengeras suara masjid. “Kita ada bedug, panjangnya 1,5 meter dan tingginya 1,3 meter,” jelasnya.

Pemkot sangat berperan agar keriang bandong dan bedug tetap lestari. Kendati keriang bandong pernah di lombakan, tapi gaungnya kurang terasa. Termasuk bedug, gaungnya tak tampak sama sekali. Untuk itu, Pemkot dapat menghidupkan keriang bandong dan bedug dengan rutin menggelar vestival saat Ramadan. “Jangan hanya menggelar vestival meriam saja,” serunya.

Laporan: Arman Hairiadi