eQuator.co.id – Upaya menstabilkan harga daging terhadang tembok tebal. Pedagang-pedagang di sejumlah pasar Pontianak menolak daging beku pasokan pemerintah. Alasannya jelas: merusak pasaran harga daging segar. Dan, penjualan daging beku tersebut dilarang tahun lalu oleh pemerintah sendiri.
Sejak dulu, di Pasar Dahlia, Kecamatan Sungai Jawi, Kota Pontianak berlaku satu ‘hukum tradisional’ yang diperuntukkan kepada para pedagang sapi potong. Terutama mereka yang ingin berjualan jelang lebaran.
Hukum itu berbunyi: “Setiap pedagang (selain pedagang pasar) yang ingin berjualan daging sapi potong saat lebaran harus memiliki lapak beradius minimal 200 meter dari Pasar Dahlia”. Kesepakatan tak tertulis antarpedagang ini disebut-sebut sudah berlangsung lama, turun-temurun. Tidak peduli apakah itu pedagang senior atau junior.
“Pokoknya mau ke kanan, ke kiri, utara-selatan, barat-timur, jaraknya harus 200 meter. Ini sudah dari dulu, dari nenek moyang, dari jaman Bapak saye dah begitu,” ungkap perwakilan pedagang daging sapi segar di Dahlia, Muhammad Hadiri SPd.I, Jumat (17/6).
Sehingga, wajar, dari awal daging sapi beku yang didistribusikan oleh pemerintah untuk menekan lonjakan harga daging tidak pernah masuk ke Pasar Dahlia. Para pedagang tradisional di sana menolak keras daging murah dijual di sana, dengan nyaris tanpa jarak.
“Soalnye merusak harge daging sini,” ujarnya.
Bahkan kalau sampai kebijakan itu tetap dipaksakan, para pedagang menjamin akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam bulan suci Ramadan. Bisa terjadi keributan di pasar.
“Kalau masuk ke sini saye yang demo, kalau perlu betombok (berkelahi,red),” tegas Hadiri, dengan logat Melayu-nya yang kental bernada tinggi.
Kelahiran 1968 itu menjelaskan, sebenarnya para pedagang daging sapi segar tidak mempermasalahkan kebijakan penjualan daging sapi beku. Dengan catatan, tidak mengganggu harga di pasar.
“Diatur di mane (jualannya) supaya tidak bentrok dengan pedagang tradisional. Kalau die nurunkan harge, kan same gak bunuh kite. Kalau die jualan di Bulog, haa saye begini,” tutur pria berperawakan tambun ini sambil mengacungkan dua jempol ke atas.
Sebenarnya, sejumlah pedagang di Dahlia tidak takut dengan persaingan harga. Namun jika terlalu signifikan, sekali lagi Hadiri menegaskan, para pedagang tidak akan tinggal diam.
“Kite ngambil (dari distributor,red) jak sudah Rp106 ribu perkilo, dah timbang tulang (campur) daging, jualnya di sini Rp120 ribu perkilo. Untuk daging saja. Rusuknya jual Rp90 ribu. Kalau jual Rp106 ribu rugi, makanya harus jual Rp120 ribu untuk mengimbangi tulang. Jadi kalau kite mau ngikutkan die harge Rp85 ribu, same gak gantung diri,” tutupnya.
Perlu diingat, akhir Juli tahun lalu, beberapa petugas gabungan dari pemerintah provinsi/kota dikawal kepolisian memaksa masuk ke pasar tradisional terbesar Kota Pontianak, Flamboyan. Mereka melakukan inspeksi mendadak (Sidak) terhadap keberadaan dan penjualan daging sapi beku oleh sejumlah pedagang di sana. Saat itu, menjual daging beku asal Malaysia dilarang.
Namun, hampir setahun kemudian, saat bulan puasa tahun ini, pemerintah justru menganjurkan agar daging beku asal luar negeri dijual di Pasar Flamboyan. Kontan, pedagang daging setempat berang dan mengusir petugas yang menjual daging beku.
“Baru dapat jualan dua hari, pedagang demo, akhirnya mereka pindah ke Bulog,” kata Hayadi, salah seorang pedagang sapi potong di Flamboyan, Jumat (17/6).
Imbuh pria berusia 57 tahun ini, “Di sini kan areal penjualan daging lokal. Katenye kan mau nurunkan harge, tapi nyatenye (jenis dagingnya) same gak dengan daging Malaysia, kate orang sini. Sebenarnye, kalau kita mau berdagang, dulu kan kita berdagang daging itu (daging beku) di sini. Tapi kena tangkap. Sekali pemerintah (hendak menjualnya), endak kena tangkap,” sambungnya.
Dia sudah berjualan daging selama 40 tahun. Menurutnya, para pedagang tidak mempermasalahkan harga jual daging sapi selama daging yang dijual adalah daging lokal.
“Karena kalau daging lokal kan memang tinggi modalnye. Kalau daging itu (daging beku) kan modalnye dari dulu hanye Rp70-an ribu jak. Harge? Endak khawatir masalah itu. Yang jelas barang dilarang tapi dijual die (pemerintah),” tutur Hayadi.
Untuk daging lokal yang dijual di Flamboyan rata-rata seharga Rp120 ribu. Harga jamak naik menjelang lebaran.
“Rp120 ribu itu sudah harga lama, modalnye Rp108 ribu. Kami ambil sapi dari Madura. Pas nyambut puase hargenye sekitar Rp140 ribu-Rp150 ribu. untuk tulang Rp80 ribu kalau normal, kalau lebaran bise Rp120 ribu, daging Rp140 ribu,” beber dia.
Sementara itu, pantauan yang dilakukan Rakyat Kalbar sore kemarin, tenda yang biasa digunakan untuk menjual daging beku di depan kantor Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Regional Kalbar terlihat sepi. Menurut salah seorang petugas jaga yang ditemui mengatakan, memang kalau sore hari aktivitas jual-beli tidak dilakukan.
“Biasanya mulai dari jam 08.00 Wib sampai habis, baru selesai, biasa sampai jam 10.00 Wib atau jam 11.00 Wib saja,” tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah kabupaten tetap meneruskan upaya menstabilkan harga daging ini. Contohnya di Sintang.
“Kita akan bekerja sama dengan pihak Bulog dalam menyiapkan kebutuhan daging beku itu. Dan dapat dipastikan harga perkilonya akan jauh lebih murah dari harga yang ada di pasaran,” kata Kepala Dinas Perindustrian, Pedagangan, Koperasi, dan UKM Sintang, Sudirman.
Harga daging beku di sana nantinya akan diperjualbelikan dengan harga Rp80 ribu perkilo. Sementara, harga daging di pasaran Sintang berkisar Rp140 ribu hingga Rp150 ribu perkilonya. (*)
Fikri Akbar dan Ocsya Ade CP, Pontianak