eQuator.co.id – Mi tarik Lanzhou: Saya selalu mencarinya. Di kota mana pun di Tiongkok. Pasti ada. Cocok untuk lidah Indonesia. Dan pasti halal.
Mencarinya mudah. Hanya, kadang agak jauh. Tanyalah di mana letak masjid di kota itu. Di dekat-dekat situ pasti ada Lanzhou lamian. Mi tarik Lanzhou. Yang jual mi Lanzhou biasanya memang orang Islam. Suku Hui. Gampang dikenal. Selalu pakai topi kain putih. Topi haji. Biarpun belum tentu haji.
Sudah begitu akrab dengan minya, baru kali ini saya ke Lanzhou. Ibu kota Provinsi Gansu. Tentu saya tidak perlu bertanya lagi di mana ada restoran Lanzhou lamian. Di seluruh kota ada. Bahkan salah satu menu sarapan di hotel saya juga Lanzhou lamian. Sedap sekali.
Ciri khasnya ini: Minya baru dibuat saat itu juga. Saat ada yang mau makan. Bikinnya cepat. Di situ sudah ada adonan tepungnya. Sudah diaduk. Sudah diuleni. Tinggal dicuil sesuai keperluan untuk ditarik-tarik. Dibuat mi.
Yang juga khas adalah masak daging sapinya. Dan cara mengirisnya. Tipis-tipis. Kecil-kecil.
Daging sapi memang hasil utama di ”wilayah Islam” itu. Juga kambing. Dan domba. Sapinya berwarna hitam. Bulunya panjang dan tebal. Di mana-mana terlihat ternak sapi dan domba. Di seluruh padang sabana di pegunungan sekitarnya.
Dulu mereka menggembala dengan kuda. Kini saya lihat lebih lucu: menggembalanya dengan sepeda motor. Pernah saya melintas kota kecil di luar Kota Xining: Mobil harus berhenti. Jalan penuh dengan domba. Yang lagi digiring ke satu padang sabana. Yang menggiring domba-domba itu naik sepeda motor. Di belakang rombongan domba. Kalau barisan domba terlihat hendak melebar liar, sepeda motornya lari lebih kencang ke samping. Merapikan barisan. Beberapa anak domba terlihat dinaikkan motor. Dipangku.
Di Lanzhou tidak sulit cari masjid. Tidak perlu bertanya. Dari jauh sudah terlihat menara-menara tinggi. Khas Madinah. Dalam radius 1 kilometer ada lima masjid. Demikian juga di Xining, ibu kota Provinsi Qinghai. Tetangga Gansu.
Saya lihat ada lima spanduk yang sangat mencolok. Warna hijau. Dengan tulisan Mandarin besar-besar. Ternyata lagi ada kampanye makanan halal. Spanduk itu dibentang di simpang empat yang strategis. Di pusat Kota Xining. Dekat masjid terbesar kota itu.
”Jendela makanan halal dunia,” bunyi spanduk itu. Rupanya, minggu depannya ada festival makanan halal di situ. Dari seluruh dunia.
Qinghai adalah salah satu di antara empat provinsi di Tiongkok yang umat Islamnya sangat besar: Qinghai, Gansu, Ningxia, dan Xinjiang. Hanya, yang di Xinjiang itu sukunya Uighur.
Jumlah umat Islam di Tiongkok sekitar 70 juta. Tiga kali lipat umat Islam seluruh Malaysia. Kini umat Islam Tiongkok bisa naik haji dari tiga bandara: Beijing, Ningxia, dan Xinjiang. Tidak lagi seperti dulu: hanya boleh dari Beijing. Bahkan dulunya lagi harus sembunyi-sembunyi. Pura-pura ke Pakistan. Untuk dagang. Dari Pakistan, baru ke Makkah.
Kini juga mulai banyak anak muda ke masjid. Tidak seperti dulu. Yang datang ke masjid hanya orang-orang tua. Kelas belajar membaca Alquran pun penuh sekali. Memanfaatkan waktu antara asar dan magrib. Ditambah antara Magrib dan Isya.
Menjelang jam enam sore, saya tiba di masjid. Siap-siap salat Magrib. Ternyata magribnya jam delapan malam. Azan barusan untuk salat Asar. Habis salat, saya diminta masuk kelas belajar membaca Alquran. Di salah satu dari banyak ruangan yang melingkari halaman.
Di kelas itu saya diminta duduk di depan. Dekat guru. Diminta memberi contoh membaca satu ayat panjang. Kelas itu penuh. Kebanyakan orang tua. Satu per satu dapat giliran membaca. Untuk disimak kebenaran membacanya. Sesekali ustad yang ada di depan membetulkan tajwidnya. Dan menjelaskan mengapa huruf tertentu kalau ketemu huruf tertentu berubah bunyi.
Dua anak kecil di sebelah saya dapat giliran terakhir. Bacaannya lebih sempurna. Lidahnya masih mudah dibentuk.
Ketika azan Magrib terdengar, kelas berakhir. Gerak cepat. Harus bergegas masuk masjid. Di masjid-masjid Tiongkok harus begitu. Tidak banyak waktu. Habis azan, langsung ikamah dan salat. Tidak ada jeda. Mazhab mereka adalah Hanafi.
Kini saya sudah terbiasa salat di masjid Tiongkok. Dengan cara Hanafi. Tidak seperti dulu. Bikin kaget. Yakni ketika imam selesai membaca Fatihah. Otomatis, dengan refleks, saya menyahutnya dengan suara keras: amiiiiiin! Seperti di Indonesia.
Ternyata hanya saya sendiri yang meneriakkan amiiin dengan keras. Jamaah yang lain, semua hanya diam. Atau mengucapkan ”amin” dalam hati. Setelah itu saya kapok. Sampai sekarang. (*)