Gagas Bambu Jadi Energi Terbarukan

Kembangkan Pola Ladang Tanpa Berpindah

Bupati Jarot Winarno (paling kanan) dan Willie Smith (sebelah kiri Jarot) tukar pikiran terkait sumber energi, di kediaman Pastor Jack Maesen, Sintang, Sabtu (30/4). Achmad Munandar-RK

eQuator.co.id – Sintang-RK. Alternatif menghadapi terkurasnya energi adalah tenaga nuklir. Namun, selain menyimpan batubara di Ketungau, Kabupaten Sintang punya ide energi terbarukan yang lumayan menjanjikan dan ramah lingkungan.

Adalah Dr. Ir. Willie Smith, aktivis lingkungan yang mengutarakan kalau Sintang sangat adaptif ditanam bambu sebagai sumber energi. Bupati Jarot Winarno bertemu Smith di kediaman Pastor Jack Maesen, Sabtu (30/4). Dia menawarkan tanaman berongga bambuseae yang bisa tumbuh dengan cepat.

“Saya sangat mendukung siapa saja pihak swasta yang ingin membantu Kabupaten Sintang membangun dan mengembangkan beberapa sumber energi terbarukan. Saya welcome terhadap investor atau orang yang peduli dengan lingkungan yang ingin memberdayakan masyarakat,” ujar Jarot saat bertemu Willie.

Jarot mengungkap sudah ada investor yang ingin menanam bambu sekitar 1.500 hektar di Kecamatan Tempunak dan Sepauk. Bambu atau buluh alias aur ini akan digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

“Kami juga mendukung agar kawasan Bukit Saran untuk tidak dimasuki kebun sawit karena akan menjadi sumber air bersih, ekowisata, dan kawasan hijau penghasil karbon. Sebagai bentuk dukungan, saya akan bantu mengadakan seminar khusus membahas biomassa yang bisa dibuat di Kabupaten Sintang,” ungkapnya.

Banyak yang belum mengenal Dr. Ir. Willie Smith sebagai pakar energi atau aktivis lingkungan. Warga naturalisasi dari Belanda itu kabarnya sudah 30 tahun memberdayakan kekayaan alam dan satwa Indonesia. Beberapa proyek yang sudah dikerjakan timnya seperti membangun tempat penampungan orangutan dan pabrik minyak tengkawang di Desa Gurung Mali, Kecamatan Tempunak.

“Pabrik minyak tengkawang ini selain menghasilkan minyak, juga menghasilkan pupuk yang ramah lingkungan dan mampu mempertahankan tingkat kesuburan tanah. Sehingga masyarakat pedalaman bisa berladang sampai 10 tahun pada lokasi yang sama, dengan hasil yang maksimal sampai empat kali lebih baik dari cara berladang saat ini,” ungkap Willie.

Seperti diketahui, lambannya Dinas Pertanian membimbing masyarakat untuk bersawah atau berladang padi tanpa membakar lahan dan menebang hutan, mengakibatkan masyarakat tetap mengelola lahannya dengan cara tradisional yakni dengan membakar. Budaya ini, menurut Willie, bisa diubah dengan hasil sangat memadai.

“Para investor dari Eropa sangat ingin mewujudkannya, berladang di lahan sama itu untuk membantu masyarakat pedalaman. Tujuannya supaya tidak lagi melakukan ladang berpindah namun menghasilkan padi melimpah. Dan sambil menghasilkan bahan bakar untuk listrik. Hasil akhirnya adalah bisa menjaga lingkungan sambil memberdayakan masyarakat,” terangnya.

Menurut dia, biomassa merupakan energi terbarukan yang mengacu pada bahan biologis yang berasal dari organisme yang masih hidup maupun yang belum lama mati. Sumber utama dari energi biomassa sendiri adalah limbah, alkohol, dan juga bahan bakar kayu.

Saat ini, di Indonesia juga sudah terdapat pembangkit listrik biomassa, salah satunya PLTBM Pulubala di Gorontalo yang memanfaatkan tongkol jagung. Kabupaten Sintang yang memiliki lahan kritis akibat pengelolaan hutan tanpa reboisasi, serta ladang berpindah yang ditinggalkan sementara, dapat diolah sebagai lahan tanaman bambu maupun berladang padi.

“Kami juga akan membantu pengembangan teknologi listrik ramah lingkungan yang menggunakan limbah kayu yang diolah untuk menjadi bahan bakar pembangkit listrik,” tutup Willie.

Laporan: Ahmad Munandar

Editor: Mohamad iQbaL