eQuator.co.id – Emansipasi perempuan besutan Raden Ajeng Kartini merupakan hal positif. Perempuan lebih kuat posisinya. Tapi tetap saja tak bisa memisahkan diri dari kodrat masing-masing.
Kebaya-kebaya berwarna-warni mejeng di area Ruang Multi Purpose Radio Republik Indonesia (RRI) Pontianak, kemarin (21/4). Baju khas Kartini itu dikenakan sejumlah perempuan yang berdialog dengan sesama kaumnya yang dianggap punya ketokohan di Kalimantan Barat.
Disiarkan langsung oleh RRI sejak pukul 08.20-10.00 WIB, dihadiri lebih dari 50 peserta berbagai kalangan, acara itu juga membuka dialog interaktif yang disambut antusias oleh warga Pontianak. Ada tiga penelpon yang memberikan tanggapan. Yang menarik ketiganya adalah pria.
Dipandu Kepala Stasiun RRI Pontianak Retno Desy Swasri dan Kepala Bidang Program Siaran Agustini Panggabean, Politikus Erma Suryani Ranik menyempatkan diri datang ke sana di sela kesibukannya sebagai anggota DPR. Pun hadir aktivis perempuan dari LSM Gemawan Laili Khainur. Juga terlihat guru senior di SMKN 5 Pontianak Pujiastuti, pegiat di Perhimpunan Wanita Tionghoa Pontianak Lili Thamrin, dan jurnalis Tempo Aseanty Pahlevi.
Diskusi mengambil tajuk “Mau Dibawa Kemana Kartini Masa Kini?”. Moderator mengulas persoalan kodrat laki-laki dan perempuan seperti ketidakadilan gender berupa stereotip, beban kehidupan mereka yang bekerja, hingga pelecehan seksual yang masih dialami perempuan.
Bagi Aktivis Laili Khainur, kodrat manusia itu laki-laki dan perempuan saja. “Hanya itu, sisanya adalah hasil konstruksi sosial dan gender,” ujarnya.
Pegiat perempuan Tionghoa Lili Thamrin lebih memilih menyikapi peran, perubahan sikap, dan cara pandang perempuan sekarang ini. Kata dia, perempuan hendaklah tetap mengingat dan menghargai tradisi dan budaya.
“Darimana kita berasal dan dimana kita dibesarkan. Budaya tidak harus menjadi batu sandungan dalam merengkuh perubahan, keselarasan adalah kuncinya,” tegas dia.
Dulu, Lili melanjutkan, kebanyakan wanita hanya bekerja di dapur maupun ruang tamu, tapi kini banyak wanita bisa berpendidikan sampai Strata tiga (S3). “Perempuan bisa melakukan adaptasi budaya dan tradisi ke dalam keluarganya,” terang Dosen Bahasa Mandarin ini.
Pendidik senior Pujiastuti menyampaikan pesan yang indah ketika sampai gilirannya berbicara. “Untuk anak-anakku, khususnya para putri Kartini saat ini, tujuan pendidikan bagi kaum wanita bukan untuk menjadi pesaing kaum pria. Sehebat-hebatnya kaum wanita, maka ia tetap kembali pada kodratnya sebagai seorang perempuan. Apapun profesi dan kemampuan kita sebagai wanita, iman, fitrah, dan budi pekerti, harus terus kita jaga. Jadilah wanita yang hebat, yang mendampingi kaum pria supaya menjadi lebih hebat lagi,” tuturnya.
Di sisi lain, sebagai jurnalis, Aseanty Pahlevi mengakui profesi yang ditekuninya sangatlah menyita waktu dan butuh fleksibilitas tinggi dalam mengerjakannya. Menjalaninya sekaligus sebagai seorang ibu dan istri bukanlah hal yang mudah.
“Yang dibutuhkan adalah komitmen. Dengan adanya komitmen bukan saja kita mencapai mimpi kita sebagai seorang perempuan untuk berkarya. Kita juga akan mendapatkan dukungan dan pengertian dari orang-orang di sekitar kita,” ungkap Levi, karib dia disapa. Contoh komitmen yang dibuatnya adalah berhasil memberikan ASI ekslusif bagi anak-anaknya hingga mereka berusia dua tahun.
Tak hanya empat narasumber itu yang menyumbangkan pemikirannya. Kepala Stasiun RRI Retno Desy juga didaulat untuk bicara tentang perempuan-perempuan masa kini. Hal itu terkait pekerjaannya yang sering berpindah-pindah daerah. Sebelum di RRI Pontianak, ia sempat bertugas di Bandung, Banjarmasin, bahkan Entikong Sanggau.
“Yang penting adalah komunikasi yang kita buat dalam keluarga. Komunikasi tidak hanya suami dan istri tapi juga melibatkan anak-anak, supaya semua mengerti. Butuh kreatifitas, kesabaran, dan yang penting doa,” paparnya.
Imbuh dia,”Buat juga hal sederhana, misalnya bilang ‘Hai Say (sayang,red)’ kepada anak. Masa’ dengan teman kita bilang ‘say-say’ tapi dengan anak kita hanya bilang ‘nak'”. (*)
Marselina Evy, Pontianak