eQuator.co.id – Ini bukan jual beli biasa. Sharp menjual diri. Dibeli oleh Foxconn. Perusahaan teknologi Jepang dijual. Perusahaan Taiwan yang membeli.
The Wall Street Journal menyebutnya seru: Ini baru pertama terjadi. Jepang terpaksa melepas perusahaan teknologinya ke negara lain. Terutama teknologi elektroniknya. Ideologi menjaga ”rahasia teknologi Jepang” mulai meleleh. Padahal, Jepang dikenal sangat pelit melakukan alih teknologi. Sampai sekarang pun, kita hanya jadi pasar mobil Jepang.
Pelitnya Jepang dalam ”alih teknologi” kini berubah menjadi penyerahan total. Bukan hanya alih teknologi. Sekalian dengan perusahaannya. Terpaksa.
Sharp memang dalam kesulitan besar. Belakangan terus merugi. Berbagai usaha penyelamatan gagal. Dua kali bailout tidak menolong. Tahun lalu masih rugi USD 918 juta. Atau sekitar Rp 12 triliun. Belum termasuk angka meragukan yang baru diketahui belakangan.
Pertolongan paling dramatis dilakukan oleh ”dewa baru” Jepang: INCJ. Juga gagal.
INCJ adalah dewa baru. Didirikan pemerintah bersama 19 perusahaan raksasa Jepang. Tugasnya: merangsang perusahaan Jepang agar tidak kalah dalam kompetisi.
Bukan main. Jepang yang kita nilai sudah sangat hebat pun masih perlu melakukan itu: bagaimana bisa lebih kompetitif. Maksudnya, mungkin, agar jangan kalah oleh Korea.
INCJ (Innovation Network Corporation of Japan) baru dibentuk pada 2009. Ialah yang terakhir berusaha keras menyelamatkan Sharp. Agar jangan jatuh ke asing. Caranya pun drastis: menggabungkan Sharp ke dalam grup Japan Display.
Japan Display didirikan pada 1 April 2012. Empat tahun lalu. Oleh INCJ. Tugasnya menyelamatkan raksasa-raksasa elektronik Jepang. Maka, divisi-divisi layar dari Sony, Toshiba, dan Hitachi digabung ke dalam Japan Display. Panasonic menyusul belakangan.
Maunya: Sharp dimasukkan ke situ sekalian. Tapi, penawaran dari Taiwan terlalu menggiurkan. Dan lagi bank-bank yang selama ini mendanai Sharp lebih mau jalan pintas: jual saja. Sharp bisa lebih cepat selamat. Maksudnya: Banknya juga cepat selamat.
Tawaran Foxconn memang menggiurkan: USD 6,25 miliar. Jepang pun heboh. Oleh besarnya tawaran. Dan oleh ancaman asing. Tawaran itu dua kali lipat dari harga yang disodorkan INCJ. Dan akan dibayar cepat.
Tapi, drama pun terjadi. Saat Foxconn siap mentransfer uang, muncul data baru: Ada angka yang selama itu belum terungkap. Sharp ternyata memiliki tanggungan USD 3 miliar. Atau sekitar Rp 40 triliun. Yang bisa jadi bom sewaktu-waktu. Foxconn terbelalak. Ini bahaya. Bisa jadi ganjalan ke depan. Bos Foxconn Terry Guo berang.
Keputusan pun dia ambil: Batal.
Ganti Sharp yang panik. Berita masuknya Foxconn ke Sharp sudah terlalu luas beredar. Ke seluruh dunia.
Jepang yang dikenal sangat ulet dalam negosiasi kini harus menghadapi naga terbang. Sampai-sampai CEO Sharp Takahashi mendadak ke Shenzhen. Mencari Guo. Foxconn memang punya pabrik besar di Tiongkok. Karyawannya sampai satu juta orang. Komponen-komponen iPhone banyak dibikin di situ. Juga produk Apple lainnya.
Guo tahu bahwa Takahashi minta ketemu dirinya. Dia memang sudah membatalkan transaksi itu, tapi tidak dalam hatinya. Melihat respons Takahashi, Guo membatalkan liburan Imlek-nya. Tapi, yang menemui Takahashi hanya stafnya. Dia menunggu di kamar sebelah. Alot. Data yang dibawa Takahashi dipelototi. Rapat itu berlangsung sejak pukul 23.00 sampai 09.00. Tidak ada yang tidur. Juga Guo. Yang meringkuk di kamar sebelah.
Menjelang jam makan siang, kamar Guo diketok. Takahashi bertekuk lutut. Dia menyerah. Menerima tawaran Foxconn yang terakhir: USD 3,5 miliar. Turun dari tawaran awal yang USD 6,25 miliar. Atau turun sekitar Rp 40 triliun.
Inilah gertakan senilai Rp 40 triliun. Inilah keuletan seharga Rp 40 triliun. Inilah tidak tidur dengan imbalan Rp 40 triliun.
Takahashi memang menyerah. Tapi bukan karena ngantuk. Harga itu memang masih lebih tinggi daripada tawaran penyelamatan oleh dewa INCJ. Terutama tidak bisa menjamin bahwa tanggungan USD 3 miliar itu tidak berbahaya.
Mengapa pemerintah Jepang tidak all-out dalam menyelamatkan Sharp? Dari tangan asing. Yang akan menguasai saham Sharp sampai 72 persen. Taiwan lagi. Wilayah jajahannya dulu.
Pemerintah Jepang rupanya memang punya agenda tersembunyi: merevolusi mental perusahaan Jepang. Yang selama ini tertutup. Pelit investasi. Kurang mengutamakan pemegang saham.
Pemerintah Jepang ingin memulai persaingan terbuka. Termasuk dalam inovasi. Terutama inovasi jenis bisnis masa depan. Singkatnya, Jepang ingin mulai terbuka pada modal asing. Untuk membuat manajemen Jepang lebih terbiasa dengan iklim persaingan. Persainganlah yang bisa membuat orang lebih inovatif.
Korea dianggap lebih inovatif. Musuh besarnya itu.
Saat tulisan ini muncul di koran grup Jawa Pos, saya sedang di Jepang. Ingin ke Fukushima. Dan ke Fujioka. Bukan untuk membatalkan drama Sharp-Foxconn itu. Tentu saja.
Nama Terry Guo (Guo Tai Ming) kini begitu top. Dia lambang baru dari zero to hero. Lahir sebagai anak polisi rendahan di Shanxi pada 1950, dia ikut ayahnya mengungsi ke Taiwan. Terdesak oleh pemerintahan baru komunis Mao Zedong.
Di Taiwan, Guo bekerja di pabrik karet. Buruh pemutar roda. Di umur 24 tahun, Guo memutuskan untuk berhenti jadi buruh. Bikin usaha kecil. Berkembang: industri kecil bidang plastik. Dia bikin casing televisi.
Di umur 30-an tahun, Guo pergi ke AS. Selama sebelas bulan dia menjelajah berbagai sudut negara. Mencari pasar. Dengan keberanian nekatnya. Dan kegigihan gilanya. Di usia 65 tahun saat ini, Guo menjadi orang terkaya dunia urutan 250-an.
Istrinya, Serena Lim, meninggal karena kanker payudara. Sepuluh tahun yang lalu. Istri keduanya, Zheng Xinyin, seorang koreograf. Saat menikah itu, duda Guo 55 tahun. Zheng 24 tahun.
Dunia kini menanti masa depan Sharp. Sebagai perusahaan asing di Jepang. Sukses atau kempis. Naga sedang menggigit samurai. Semua ingin tahu apa lakon berikutnya. (*)