eQuator.co.id – Singkawang-RK. Kota Singkawang dapat berbicara banyak soal Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia. Selain pernah menduduki peringkat kedua jumlah pengidap terbesar, setelah Papua, pada 2007 lalu, Singkawang hingga saat ini masih jawara dari 14 kabupaten/kota di Kalbar.
“Kita mulai tertinggi sejak tahun 2004, hingga saat ini,” ungkap Koordinator Recovery Record (pencatatan laporan dan data) Rumah Sakit Abdul Azis, Ridwansyah, kepada Rakyat Kalbar di kantornya, Selasa (23/2).
Yang mendominasi penularan masih seks bebas. Dalam arti, seks normal antara laki-laki dan perempuan yang kerap disebut heteroseksual. Diikuti pemakaian jarum suntik (narkotika) secara bersama-sama dan penularan HIV/AIDS para homoseksual yang tergabung dalam komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
“HIV/AIDS menular pada heteroseksual itu sebanyak 1355 orang, homoseksual sebanyak 46 orang. Penularan melalui narkoba/jarum suntik sebanyak 111 orang,” papar Ridwansyah.
Yang menggenaskan, bayi yang lahir dari penderita HIV/AIDS kini mencapai 69 orang. “Risiko terbesar dari data yang kita miliki ini, adalah seks bebas,” sambungnya.
Setakat ini, jumlah pasien HIV/AIDS yang mengikuti terapi antiretroviral (obat-obatan) atau sering disebut ART secara berkala hanya 651 orang saja dari total penderita 1.581 orang. Sementara, yang sudah meninggal dunia, dewasa maupun anak-anak, mencapai 317 orang kurun 2004 hingga Februari 2016.
2008, SEORANG POLITISI
SINGKAWANG HOMO TERTULAR
Dari 46 Orang yang tertular HIV/AIDS melalui LGBT/homoseksual, terdapat seorang politisi Singkawang pada tahun 2008. Bisa saja lebih banyak, karena kalangan elite sulit dijangkau untuk didata.
“Paling ada satu dua orang yang homoseksual di kalangan PNS. Kebanyakan itu kalau dari segi profesi atau pekerjaan adalah orang-orang yang bekerja di bidang swasta, misalkan saja salon,” ujar Ridwansyah.
Khusus kalangan LGBT dari kalangan non elite, bisa dijangkau atau dipantau meski tidak mudah. “Kecuali pakai orang-orang mereka (LGBT), kemungkinan bisa terjangkau. Kalau banci itukan bisa dilihat atau nampak dengan ciri-cirinya. Kalau Gay yang sulit untuk dideteksi,” sambungnya.
Kaum LGBT harus diwaspadai. “Karena mereka bisa berkembang, apalagi kalau kurang sosialisasi,” pungkas Ridwansyah.
Sementara itu, Koordinator Pencatatan Laporan KPA Singkawang, Robbi Sanjaya mengusulkan ada tambahan klinik khusus serupa di Sambas dan Bengkayang. “Kasihan mereka yang tidak memiliki dana untuk ke Singkawang. Terlagi jika tempat mereka jauh. Ujung-ujungnya tidak berobat lagi ke Singkawang dan di luar pemantauan kita,” pintanya.
Pembentukan klinik khusus ini, dikatakan Robbi, sudah disampaikan ke KPA Provinsi Kalbar. “Kita pernah rapat. Kita benar-benar perlu dukungan pemerintah dalam hal ini, baik itu pemerintah daerah setempat maupun provinsi,” jelasnya.
Ia pun mengimbau masyarakat Singbebas untuk selalu waspada dan berhati-hati agar tak menjadi korban HIV/AIDS. Tentunya dengan cara menghindari seks bebas maupun perilaku seksual menyimpang lainnnya, dan pemakaian narkoba menggunakan jarum suntik secara bergantian.
“Safety diri sendiri, sama dengan menjaga pasangan dari penyakit HIV/AIDS,” tutup Robbi.
Laporan: Achmad Mundzirin dan Ocsya Ade CP
Editor: Mohamad iQbaL