Aset paling berharga di Kalimantan Barat adalah keberagaman suku, etnis, dan budaya. Perbedaan diyakini bukan sebagai pemecah, justru merupakan pemersatu. Rakyat Kalbar kembali diberikan kesempatan melihat sendiri keberagaman itu, Sabtu (20/2).
Achmad Mundzirin dan Ocsya Ade CP, Sungai Kunyit
Di Desa Semudun, Kecamatan Sungai Kuyit, Kabupaten Mempawah, masyarakat Tionghoa yang dominan memeluk agama Buddha dan Konghucu hidup saling berdampingan dengan warga muslim. Tolong menolong dan rukun, masjid dan kelenteng pun berdiri berdampingan.
Berdasarkan cerita para orang tua desa, kelenteng yang diberi nama Tri Dharma di sana dibangun sejak zaman Belanda masuk ke Indonesia, tahun 1918. Lima puluh tahun kemudian, Masjid Nurul Jannah yang kini namanya ditambah menjadi Masjid Jami Nurul Jannah dibangun bersebelahan.
“Tempat ibadah kami berdampingan sejak 1968, hingga saat ini,” ujar Bendahara Masjid Jami Nurul Jannah, H. Muhammad Sirin, sambil membuka buku catatannya. Imbuh pria yang karib disapa Pak Haji Sirin itu, “Kelenteng ada sejak zaman Belanda”.
Menurutnya, tempat ibadah yang berdekatan seiring dengan kehidupan masyarakat yang saling menghormati dan saling memberikan toleransi. “Kuncinya adalah komunikasi. Komunikasi yang baik, akan menghasilkan hal yang baik pula. Itu saja yang kami lakukan dalam menghadapi perbedaan yang ada,” terang Haji Sirin yang sudah berusia 62 tahun.
Pria beranak dua dan telah dianugerahi enam cucu ini bercerita, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pernah dua tahun berturut-turut bersamaan dengan perayaan Imlek. Tapi, tak menjadi penghalang bagi dua umat untuk merayakan dan menjalankan ibadah masing-masing.
“Ya itu, kami komunikasi. Cari solusi bersama,” tuturnya.
Sambung dia, kala itu, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dilaksanakan mulai pukul 08.00-11.00 WIB. Bakda Zuhur, giliran warga Tionghoa yang melaksanakan ibadah di Tri Dharma.
Tak hanya saat perayaan hari besar, ketika Masjid Jami Nurul Jannah direnovasi, warga Tionghoa di sana turut menyumbangkan pikiran. “Mereka memberi saran agar pembangunan masjid semakin baik. Begitu juga kami, saat kelenteng direnovasi. Jadi kami tidak mempermasalahkan perbedaan itu dan perbedaan itu juga tidak membuat kami berselisih,” tegas Haji Sirin.
Kerukunan tersebut sampai-sampai menjadi hal menarik dalam kaca mata Jakarta (pemerintah pusat) dan Kuala Lumpur (pemerintah jiran). “Dari Malaysia pernah datang ke sini, untuk melihat kerukunan yang ada di sini. Bahkan, Desa Semudun ini juga sudah sampai ke telinga yang ada di Ibu Kota Negara,” tutupnya.
Klop dengan penuturan Haji Sirin, Ketua Pengurus Kelenteng Tri Dharma Desa Semudun, Bong Sui Lin, berkata senada. Kuncinya memang komunikasi.
“Kami non muslim, sangat menghormati umat muslim. Begitu juga umat muslim dengan kami. Kami hidup berdampingan dan bermasyarakat di sini, kami sangat rukun,” terang pria yang karib disapa Pak Alin itu, ditemui di kediamannya yang tak jauh dari kelenteng.
Kata dia, kerukunan itu sudah terjalin ratusan tahun. “Sudah sangat lama, kami senang seperti ini. Tidak ada gunanya berselisih, tidak ada gunanya ribut. Hidup rukun dan damai itu indah,” tuturnya.
Saling komunikasi, bagi Pak Alin, merupakan hal terbaik dalam kehidupan bermasyarakat. “Lihat, tidak ada yang bersinggungan, tidak ada perselisihan. Semua terjalin dengan baik,” ujar dia. (*)