Jelang Cap Go Meh, para tatung sibuk siap-siap melakukan aksi pada pawai khusus mereka. Ritus ‘Cuci Jalan’ harus dilakukan, tentu beserta beberapa ritual lainnya yang jamak dilakukan sebelum pawai.
Suhendra, Singkawang
Rencananya, sekitar 40 tatung turun dalam iring-iringan tersebut. “Dari kelompok Datuk Kurata, setiap tandu masing-masing akan dipikul enam orang. Namun sebelum itu kami melakukan ‘cuci jalan’ dulu pada 21 Februari (besok,red) mengelilingi Kota Singkawang yang dimulai dari pekong (kelenteng,red) tua,” ujar Hermansyah yang memiliki nama Tionghoa Cong Bui Khiong, kepada Rakyat Kalbar, di kediamannya Jalan Kalimantan di Gang Dua, Condong, Singkawang Tengah, Rabu (17/2).
‘Cuci jalan’ dilakukan dengan mengunjungi kelenteng/pekong/vihara yang memang tersebar di berbagai sudut Kota Amoy itu. Suasana pusat Kota Singkawang bakal ramai oleh tetabuhan dan iring-iringan tatung tersebut.
Ada beberapa ritual lain yang dilakukan oleh Bui Khiong dan kawan-kawan, salah satunya puasa selama satu hingga tiga hari. “Hanya makan nasi putih dan tidak makan makanan yang mengandung daging, baik daging hewan darat maupun daging hewan air. Termasuk telur tidak boleh dimakan saat berpuasa,” tutur pria berusia 36 tahun ini.
Apabila melanggar ritual berpuasa sebelum pawai tatung, ia melanjutkan, maka akan timbul malapetaka atau bencana saat pawai tatung. “Karena dengan berpuasa melunturkan kotoran-kotoran yang tidak baik di dalam tubuh,” jelasnya.
Lama berpuasa di kelompoknya berbeda dengan kelompok tatung lain. “Kalau di kelompok tatung lainnya, bisa saja puasanya sampai tiga hari. Jadi tergantung alirannya,” ungkap Bui Khiong.
Kelompok Bui Khiong mengandalkan atraksi makan pecahan lampu neon. Juga menusuk-nusuk diri dengan benda tajam. “Semua itu dilakukan tanpa sadar, karena roh leluhur sudah memasuki tubuh kami. Kami seperti dalam kondisi tidur, yang menggerakkan tubuh kami merupakan roh leluhur,” paparnya.
Bui Khiong melakoni dunia tatung sejak berusia 15 tahun. Kala itu, ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). “Saat itu saya lagi di sekolah, tiba-tiba saya kerasukan, dan oleh paman saya yang juga tatung mengatakan bahwa saya sudah terpilih oleh leluhur untuk menjadi seorang tatung. Kata paman, saya memiliki tulang dewa,” tuturnya.
Akhirnya, ia menjadi tatung generasi keempat. Generasi ketiga dalam keluarganya ya pamannya itu dari garis sebelah ibu.
“Sedangkan ayah saya bukanlah seorang tatung. Saya kemudian dibawa ke Jakarta oleh paman saya untuk mengikuti ritual semedi dan diberi ilmu tatung. Jadilah saya tatung hingga saat ini,” beber Bui Khiong.
Imbuh dia, “Mereka yang tidak memiliki tulang dewa di dalam tubuhnya, maka selamanya tidak akan pernah menjadi seorang tatung meskipun belajar ilmu tatung”.
Sebagai bentuk bakti Bui Khiong kepada yang telah membimbingnya menjadi seorang tatung profesional, maka ia menamakan kelompok tatung yang dipimpinnya dengan nama pemberian leluhur kepada pamannya itu. Sang Paman dikenal dengan nama “Kurata”.
“Balas budi itu tidak dapat dinilai dengan uang, dan paman saya merupakan orang yang paling berjasa bagi saya. Jadi namanya (paman,red) saya abadikan menjadi nama kelompok tatung,” tukasnya.
Terkait dana santunan dari Panitia Cap Go Meh Singkawang 2016 yang menurun (hanya Rp1 juta pertatung), Bui Khiong tak patah arang. “Kami tetap semangat, karena untuk melestarikan tradisi leluhur kami, meskipun tentu dana kecil itu akan berdampak bagi para tatung. Kasihan tatung yang tidak ada sponsornya, karena biaya mengangkat tandu serta biaya-biaya lainnya cukup besar,” terang dia.
Diakuinya, biaya besar yang membuat para tatung sedang kebingungan untuk mengikuti pawai tatung. Ia berharap, ada perhatian lebih pada tahun depan. “Buku Paramita pun tidak bisa menjadi pegangan untuk mendapatkan bantuan dana. Soalnya Buku Paramita merupakan sumbangan sukarela untuk para tatung,” tutup Bui Khiong. (*)