eQuator – JAKARTA–RK. Hari adalah hari penentuan. Apakah DPR masih layak disebut sebagai lembaga yang memperjuangkan amanat rakyat yang diwakilinya, atau lembaga tinggi negara itu sudah dikuasai sekelompok politisi yang memperjuangkan kepentingan kelompoknya.
Momen menentukan itu terkait dengan nasib Ketua DPR Setya Novanto yang akan divonis melanggar etika atau tidak oleh alat kelengkapan dewan, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) siang ini. Dengan posisi Setya Novanto yang sudah pernah berperkara di persidangan etik, MKD hanya memiliki dua pilihan sanksi, yakni mencopot Setnov, panggilan Setya Novanto, dari jabatan Ketua DPR, atau membebaskannya dari segala aduan yang dilaporkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.
Dengan jumlah keseluruhan 17 anggota dan pimpinan di MKD, setiap suara sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Apalagi, dinamika yang terjadi di MKD selama ini sulit mengharapkan terjadinya musyawarah mufakat. MKD di persidangan kasus Novanto sering mengambil keputusan dengan menggunakan mekanisme voting.
Jika diperdalam di struktur masing-masing fraksi, komposisi fraksi yang mendukung terjadi pelanggaran oleh Novanto, netral, dan fraksi yang ingin membebaskan Novanto sudah mulai teraba. Fraksi Partai Amanat Nasional (dua anggota), Fraksi Partai Demokrat (dua anggota), Fraksi Partai Nasdem (satu anggota), dan Fraksi Partai Hanura (satu anggota) adalah pihak yang selama ini tegas melihat sudah terbukti pelanggaran etik dilakukan Novanto. Total pihak pro-copot Setya Novanto ini berkekuatan enam suara.
Sementara, fraksi yang berbeda pandangan atau cenderung mempersoalkan rekaman dibandingkan substansi laporan adalah Fraksi Partai Golongan Karya (tiga anggota), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (dua anggota), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (satu anggota) atau total enam suara.
Sedangkan dua fraksi yang cenderung netral atau belum menentukan sikap adalah Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (satu anggota) dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (satu anggota) dengan total dua suara.
Sedangkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan komposisi tiga anggotanya paling menentukan arah keputusan MKD. Namun, ada pesimisme terhadap sikap PDIP terhadap kasus Novanto. Anggota MKD dari Fraksi Partai Nasdem Akbar Faizal yang menyuarakan pesimisme itu.
“Hari ini atau besok siang, kalau kondisinya sama. Kalau voting, mohon maaf kelihatannya kami akan kalah,” ujarnya.
Menurut Akbar, gejala itu muncul dari adanya pergantian anggota MKD di saat akhir. Dirinya tidak menyebut nama, namun proses pergantian terakhir di internal MKD adalah Marsiaman Saragih dari PDIP digantikan oleh Riska Mariska.
“Realitasnya ada seorang anggota fraksi terus selancar. Ada yang tadinya mulai lurus dan diganti lagi, karena ada yang kebingungan harus mendengar yang mana,” papar dia.
Menurut Akbar, dirinya perlu menyampaikan ini karena sidang pada hari ini merupakan pertaruhan terhadap DPR. Akbar meminta kepada masyarakat agar terus mengawasi MKD, terutama memastikan siapa saja dan apa isi keputusan akhir yang diambil masing-masing anggota dalam rapat internal.
“Supaya anda tahu wakil seperti apa yang anda pilih termasuk dapilnya. Makanya saya bilang, jaga teman-teman anda di fraksi,” ujarnya.
Kecurigaan terhadap posisi PDIP itu ditepis oleh anggota MKD dari fraksi PDIP Muhammad Prakosa. Mantan Ketua Badan Kehormatan DPR (nama lama MKD, red) itu belum bersedia menyatakan apa putusannya terhadap Novanto. Namun, dirinya berjanji akan objektif terhadap fakta persidangan yang ada.
“Kalau (dianggap) masuk angin tidak ada. Yang ada bahwa semua anggota MKD mempunyai pendapat berdasarkan fakta persidangan ditambah bukti-bukti yang ada,” ujar Prakosa.
Menurut Prakosa, dirinya tidak mau mendahului proses di rapat internal. Meski ada anggota MKD yang secara terbuka sudah menyatakan ada pelanggaran yang dilakukan Novanto, Prakosa memilih akan menyimpan pandangannya sampai proses resmi.
“Ya besok (hari ini, red) saya sampaikan, tidak bisa disampaikan sekarang,” ujarnya.
Namun, kata Prakosa, dalam kaitan seorang anggota DPR pernah dijatuhi sanksi ringan, seperti Novanto, maka jika nantinya dinyatakan melanggar etik, tidak mungkin lagi dijatuhi sanksi yang sama. Dia merujuk pada pasal 20 ayat 3 peraturan DPR nomor 1 tahun 2015 tentang kode etik anggota dewan. Karena itu, sanksi teringan setelah sanksi ringan adalah sanksi sedang, yang berujung pada pencopotan anggota DPR dari jabatan di pimpinan DPR, komisi, atau alat kelengkapan lain.
“Analoginya seseorang yang pernah dapat kasus sanksi ringan, kemudian ada pelanggaran lagi di kasus ringan itu menjadi tidak ringan,” ujarnya menegaskan.
SUARA DPR
Apapun keputusan MKD terhadap perkara Novanto merupakan pertaruhan terhadap martabat dan citra DPR. Hal tersebut menjadi pandangan sekitar 30 anggota DPR yang menamakan diri sebagai Lintas Fraksi Selamatkan DPR. Perwakilan sembilan fraksi di DPR itu meminta kepada Novanto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR.
“Kami minta dengan hormat saudara Setya Novanto mengundurkan diri, tidak hanya untuk bapak, tapi juga untuk mengangkat martabat DPR,” kata Komarudin Watubun, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, membacakan pernyataan lintas fraksi.
Komar menyatakan, publik sudah geram dengan polemik kasus pencatutan nama Presiden oleh Setya Novanto. Di mata publik, DPR menjadi lembaga yang tidak dipercaya. Di tingkat internal, hal ini membuat DPR tidak kondusif.
“MKD juga menjadi forum perdebatan belaka, publik ragu MKD bisa membuat keputusan yang adil,” ujarnya.
Anggota Fraksi PDIP lainnya, Tubagus Hasanuddin menyatakan, harkat dan martabat DPR sudah jatuh terpuruk di mata masyarakat. Karena itu, para perwakilan lintas fraksi ini sepakat untuk menyampaikan kepada Setya Novanto selaku pimpinan DPR untuk mundur. “Ibaratnya kalau salat, Imamnya kentut, maka dia otomatis pergi, karena sudah batal,” tuturnya.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono menyatakan, sudah saatnya DPR mengembalikan kepercayaan rakyat. Jika MKD melihat pemberitaan media, hampir semuanya sudah meminta MKD untuk fokus mengadili pelanggaran etik Novanto. Dave menyadari pernyataannya akan ditentang oleh anggota Fraksi Partai Golkar lainnya.
“Meski rekan fraksi akan mengutuk apa yang saya perbuat, tapi ini juga demi masa depan DPR,” kata Dave yang juga anak Agung Laskono, ketua umum Golkar versi munas Ancol itu.
Anggota Fraksi Partai Demokrat Ruhut Sitompul menambahkan, dirinya sudah memiliki tagline, yakni meminta Novanto menyudahi jabatannya utuk mundur. Meski ada potensi MKD akan memutus di luar kehendak publik, Ruhut mengaku masih optimis lebih banyak anggota MKD yang peduli dengan suara rakyat. ”Saya berembug dengan Junimart, ada harapan dari PKS. Rakyat maunya Novanto lengser,” kata Ruhut.
Ruhut menilai, meskipun kalah di MKD, masih ada proses hukum terhadap Novanto. Ruhut yang juga anggota Komisi III DPR itu menyatakan sudah berbicara dengan Jaksa Agung. Dia menyebut sudah ada indikasi untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka. “Saya sudah bicara dengan Jaksa Agung, dua alat bukti terpenuhi. Kalau dia jadi tersangka, lengserlah dia,” ujarnya.
SUARA ISTANA
Dari Istana Negara, Presiden Joko Widodo termasuk yang terus memantau dan mengikuti proses di MKD dari awal hingga saat-saat terakhir jelang pengambilan keputusan, hari ini. Presiden kemudian menyampaikan harapan agar segala keputusan yang akan diambil lembaga etik dewan tersebut nantinya senantiasa disandarkan pada fakta-fakta yang ada.
”Dengarkan (juga) suara publik, dengarkan suara masyarakat, dengarkan suara rakyat,” pesan Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, kemarin (15/12).
Terakhir, sekitar seminggu yang lalu, Jokowi sempat mengekspresikan kemarahannya. Dia marah setelah mendengar lengkap rekaman pembicaraan Setnov dan Riza Chalid dengan pihak Freeport yang didalamnya terdapat upaya pencatutan nama dirinya.
Saat itu, presiden menegaskan kalau tidak bisa menolerir tindakan pencatutan nama dirinya yang dilakukan Setnov. Menurut Jokowi, hal tersebut bisa merusak wibawa pemerintahan yang selama berusaha dijaga dengan baik. (Jawa Pos/JPG)