32 Tahun Melawan Parkinson, Ali Jemput Ajalnya

Ilustrasi.NET

eQuator.co.id – Phoenix-RK. Legenda itu telah pergi. Petinju terbesar yang pernah lahir di muka bumi ini, Muhammad Ali, menghembuskan nafas terakhirnya Jumat malam (kemarin pagi WIB) di rumah sakit negara bagian Arizona, kota Phoenix. The Greatest menjemput ajal pada usia 74 tahun.

“Setelah 32 tahun bertarung dengan penyakit Parkinson, Muhammad Ali meninggal di usia 74 tahun. Juara dunia tiga kali kelas berat meninggal dunia malam ini (Kemarin, Red),” ucap Bob Gunnel, juru bicara keluarga Muhammad Ali dilansir NBC News.

Beberapa hari terakhir Ali memang sudah dirawat intensif di rumah sakit. Itu karena dia mengalami masalah gangguan pernafasan akibat komplikasi Parkinson yang dia derita. Pihak keluarga juga telah mengumumkan upacara pemakaman Ali akan dilaksanakan di tanah kelahirannya di Louisville, Kentucky.

“Ayah kami adalah gunung kesederhanaan. Sekarang dia telah pulang ke Tuhan. Kau adalah sumber cinta dalam hidupku. Tuhan memberkatimu ayah,” cuit salah satu putri Ali, Hana Ali kemarin.

Gunnel menuturkan, pihak keluarga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas seluruh atensi dan doa yang diberikan kepada Ali selama ini. Namun, pihak keluarga masih belum bisa mengeluarkan statement resmi secara langsung karena masih dalam keadaan berkabung.

Seluruh dunia seketika bersedih mendengar kabar duka dari Ali kemarin. Pria yang dilahirkan pada 17 Januari 1942 itu adalah legenda besar. Melebihi olahraga tinju yang membesarkan namanya sendiri.

Ali semasa hidup dikenal memiliki pergaulan luas. Dia juga mempunyai perhatian besar di dunia kemanusiaan. Namanya tetap masyhur meski telah pensiun sejak 36 tahun silam yakni pada 1980.

“Ini adalah hari berkabung dalam kehidupan umat manusia. Ali tidak akan pernah benar-benar mati. Seperti Martin Luther King, semangatnya akan selalu hidup. Dia akan terus berdiri untuk dunia ini,” ucap Don King, promotor tinju yang tercatat pernah menaungi Ali di banyak laga.

Nama Ali bukan hanya besar melalui tinju. Dia panutan dalam menunjukkan keberanian memegang teguh prinsip hidup. Dia legenda lintas generasi. Namanya harum melebihi batasan ras, negara, warna kulit, maupun agama.

Pada 1966, keberaniannya dalam menolak panggilan wajib militer saat akan dikirim sebagai angkatan bersenjata Amerika Serikat (AS) pada perang Vietnam membuat namanya makin dikenal dan mendapat simpati banyak pihak.

Dia melakukan itu karena berkeyakinan perang tidak sesuai dengan ajaran islam yang dia anut. Padahal, akibat keputusannya itu, gelar juara dunia yang dia miliki harus dicabut. Dia juga divonis bersalah di pengadilan dengan hukuman dijebloskan ke penjara selama lima tahun oleh pemerintah AS.

“Aku ingin dikenang sebagai seseorang yang tidak pernah menjual habis rakyatnya. Jika itu terlalu berlebihan, aku hanya ingin diingat sebagai petinju yang baik. Aku bahkan tidak akan keberatan jika kamu tidak menyebutkan sebaik apa aku,” ucap Ali suatu saat semasa hidup dilansir Associated Press. Kalimat itu dikeluarkan Ali saat ditanya ingin dikenang sebagai sosok seperti apa oleh generasi setelahnya.

Keinginan Ali terwujud. Sampai masa akhir hidupnya dia masih menunjukkan perhatian besar di dunia kemanusiaan. Pada 2005, presiden AS saat itu George W. Bush menganugerahi petinju yang pernah naik ring sebanyak 56 kali ini dengan Presidential Medal of Freedom.

Kota kelahirannya Louisville juga membangun Muhammad Ali Center. Tempat di mana semua orang bisa mempelajari perjalanan hidup Ali. Sekaligus mempromosikan sikap toleransi dan saling menghormati yang menjadi jalan hidup Ali selama ini. Selamat jalan The Greatest. (Jawa Pos/JPG)