21 Tahun di Kursi Roda, Tiyong Benar-benar Menderita

Tak Pernah Dapat Bantuan Pemerintah, Meski Lumpuh dan Miskin

BUTUH BANTUAN. Ilim Harianto, penyandang disabilitas hanya dapat menggendong anaknya di atas kursi roda. Penderitaan Ilim sudah dilaluinya sejak 21 tahun lalu. Dia membutuhkan belas kasih dan bantuan dari pemerintah. Warga for RK

Malang nian nasib Ilim Harianto. Pria penyandang disabilitas asal Merakai Kecamatan Ketungau Tengah ini, tidak pernah sama sekali mendapat bantuan pemerintah. Padahal dia hidup dalam kondisi tak mampu.

Saiful Fuat, Ketungau Tengah

eQuator.co.id – SELAMA 21 tahun belakangan, Ilim mengalami lumpuh. Dia hanya bisa duduk di kursi roda. Meski banyak program kesejahteraan yang semestinya dia rasakan. Tak satu pun bantuan pemerintah sampai ke tangannya. “Saya benar-benar menderita,” keluhnya, kemarin.

Satu kali pun pria yang biasa disapa Tiyong ini tidak pernah dapat program bantuan pemerintah. Baik Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). “Untuk meringankan beban keluarga saya,” katanya.

Sudah sangat lama aktivitas Tiong harus dibantu kursi roda. Sejak kecelakaan tahun 1997. Selama 21 tahun sudah lima kali ganti kursi roda. Tapi bantuan untuk dirinya seolah enggan mampir. Tak hanya itu, untuk berobat selama ini ia menggunakan biaya pribadi. “Saya memang sudah mendaftar BPJS Kesehatan tahun 2018, namun belum pernah memanfaatkannya untuk berobat,” bebernya.

Bahkan Tiyong menyoroti bantuan PKH yang disalurkan pemerintah selama ini. Menurutnya, yang mendapatkannya malah orang-orang tergolong mampu dibandingkan dirinya.

“Bahkan yang dapat itu punya kebun dan rumah sendiri. Saya yang kondisinya seperti ini malah ndak dapat,” keluhnya.

Ia mengatakan, ada yang menyarankan agar dirinya mendaftarkan diri ke Dinas Sosial (Dinsos) Sintang setempat agar mendapatkan program PKH. Tapi dirinya tak bisa datang ke Dinsos. Mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan itu.

Lagi pula, untuk pergi ke Dinas Sosial di Sintang tentu memerlukan biaya besar. Sintang bukan dekat Merakai. Butuh waktu 4-6 jam. Harus bayar speeboat Rp500 ribu untuk pulang pergi. Belum lagi ongkos lain. “Dengan kondisi saya saat ini, dari mana dapat uang,” jelasnya.

Oleh karena itu, bapak dua anak ini meminta instansi terkait memahami kondisi yang dialaminya. Yakni dengan datang ke desanya untuk jemput bola. Lantaran dirinya tidak pernah mendapatkan bantuan PKH yang didata lewat desa. “Mohon instansi terkait bisa menindaklanjutinya,” pintanya.

Begitu juga KIP. Dengan kondisi dirinya yang serba kekurangan saat ini, seharusnya anak-anaknya mendapatkan KIP untuk pendidikan. Anaknya kelas 4 SD, namun belum dapat KIP. “Padahal sudah diajukan,” ucapnya.

Sedangkan anak-anak warga lainnya yang segar bugar dapat bantuan terus. Untuk anak Tiyong sampai saat ini tidak ada kejelasan. “Masalah KIP, kami sudah memberikan data yang akurat. Mohon ditindak lanjuti,” harapnya.

Selaku penyandang disabilitas dan warga tidak mampu, Tiyong tentu sangat membutuhkan bantuan program peemrintah agar dapat disalurkan untuknya. Makanya, ia menuntut keadilan sosial. “Saya tidak mengerti apa yang membuat tidak pernah menerima bantuan sosial itu, baik langsung atau pun tidak langsung,” sesalnya.

Saat ini, Tiyong sedang terbaring sakit karena tulang belakangnya cedera. Dia juga sangat berharap BPJS Kesehatan bisa membantu meringankan beban biayanya. Syukur-syukur bisa ditanggung sepenuhnya. Karena dirinya sangat ingin menjalani operasi. “Mudah-mudahan bisa dibantu melalui BPJS Kesehatan. Saya juga berharap ada kepedulian dari pemerintah,” demikian Tiyong. (*)

 

Editor: Arman Hairiadi