eQuator.co.id – SURABAYA-RK. Pengusutan kasus pembobolan kartu kredit di Surabaya mencapai babak baru. Kemarin Polda Jatim resmi menetapkan 18 orang menjadi tersangka. Selain Hendra Kurniawan sebagai otak kejahatan, 17 karyawan yang rata-rata baru lulus SMK itu juga menyandang status tersangka.
Ke-17 orang itu adalah Prasetyo, Bacthiar, Cakra Dahana, Hiskia, Allen, Dwi Pangestu, Denis, Hendro, David, Adit Ega, dan Yudi. Lalu,Teguh, Saifullah, Andhi, Fahmi, Gilang, dan Zakaria. Para karyawan yang rata-rata masih remaja itu mendapat gaji pokok hanya Rp 1 juta perbulan.
Wajah mereka tampak ditutupi saat dirilis langsung oleh Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan di Mapolda Jatim kemarin. Orang nomor satu di lingkungan kepolisian Jawa Timur tersebut mengatakan, tersangka adalah para ahli di bidang teknologi infiormasi (TI). Namun, mereka memanfaatkan keahlian itu untuk berbuat kriminal demi meraup keuntungan.
Jenderal dua bintang tersebut menambahkan, cara yang digunakan para pelaku dengan spamming. Modus tersebut pernah terjadi pada Maret 2018. Ternyata, dalam pengungkapannya, beberapa orang masih satu jaringan dengan pelaku yang pernah ditangani Polda Jatim.
”Penyidik melakukan pengembangan saat cyber patrol. Hasilnya, salah satu pelaku adalah jejaring dengan pelaku yang pernah ditangkap tahun lalu,” katanya. Luki menuturkan, korban kejahatan itu berasal dari Eropa dan Amerika Serikat. Luki menerangkan, 18 tersangka mempunyai peran berbeda-beda.
Sementara itu, Direskrimsus Polda Jatim Kombespol Gidion Arif Setyawan menambahkan, dalam aksinya, para pelaku diorganisir oleh satu orang. Yakni Hendra Kurniawan, bos komplotan pembobol kartu kredit itu.
Untuk membuat bisnisnya makin lancar, Hendra merekrut 17 karyawan lulusan SMK. Cara merekrutnya dengan mengumumkan lowongan melalui Facebook dan obrolan dari mulut ke mulut. Tawarannya awal hanya sebagai petugas cleaning service. Meski begitu, syaratnya harus memahami bahasa pemograman.
”Karyawannya ini semuanya dilatih oleh Hendra. Dan setiap orang punya peran masing-masing,” katanya.
Gidion mengatakan, dalam bisnisnya itu, Hendra membuat enam divisi. Yakni, divisi pengawas, tim spammer, tim domain, tim Google Developer, Tim Advertising, dan Programmer. Setiap divisi mempunyai tugas berbeda. Pengawas bertugas mengumpulkan data kartu kredit, kemudian menyebarkan data tersebut ke tim google Developer dan Advertising. Tujuannya untuk membayar dua bentuk usaha di dunia maya.
Jadi, lanjut Gidion, tim google developer bertugas membuat banyak akun. Untuk membuatnya, pelaku membayarnya dengan data kartu kredit milik orang lain. Setelah dibayar, akun tersebut dijual. Tak hanya itu, Hendra juga memanfaatkan dunia periklanan. Dia menjalin kerja sama dengan dua perusahaan asing. Bentuk kerja sama itu, yakni ikut membantu periklanan.
”Dia membayar, tapi apabila ada yang tertarik terkait produk yang dibayarnya, maka dia dapat komisi 30 persen dari nilai transaksi,” ujar mantan Direskrimum Polda Jatim tersebut.
Nah, data kartu kredit itu didapatkannya dari hasil kerja dari tim spammer. Tim spammer ini, kata Gidion, bisa menyebarkan pesan-pesan berisi tautan jebakan berasal dari domain atau website yang dibuat oleh tim divisi domain.
”Jadi setelah membuat domain, kemudian disebarkan oleh tim spammer melalui website maupun email,” ucapnya.
Peran sentral juga dipegang oleh tim programmer, yakni membuat aplikasi checkker. Aplikasi itu untuk mengecek akun email orang asing yang ingin bertransksi. Jadi, transaksinya tidak menggunakan data pelaku, melainkan data pemilik kartu kredit yang akan dibobol.
Pembobolan tersebut bukan kali pertama. Justru, dari kasus sebelumnya, tim penyidik cyber mendapatkan kembali tersangka lain dengan modus sama. Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Cecep Susatiya mengatakan, yang salah dari perbuatan para tersangka adalah melakukan pembayaran dengan menggunakan kartu kredit orang lain.
Namun, terkait usaha periklanan maupun pembuatan akun developer, Cecep mengatakan itu merupakan tindakan legal. Tapi, dia menegaskan, pembiayaan dari usaha tersebut yang sangat merugikan orang lain. Yakni mencuri data kartu kredit untuk keuntungan pribadi. ”Ibaratnya, usaha tidak modal tapi dapat untung. Ya ini pelaku-pelaku ini,” tegasnya.
Di sisi lain, saat rilis digelar, tampak orang tua beberapa tersangka melihat anaknya yang digiring dan ditunjukkan ke awak media. Mata para orang tua tersangka itu langsung berkaca-kaca. Terutama Ina Mayangsari, ibu dari Cakra, salah seorang tersangka. Dia tampak sangat terpukul. Air matanya terus mengalir membasahi pipi.
Tak lama setelah rilis digelar, Ina jatuh pingsan. Dia tak kuasa melihat anaknya menjadi pelaku tindak pidana ITE. ”Anak saya itu cuma diajak teman. Baru sebulan kerja kayak gitu,” katanya sambil tersedu-sedu.
Selain Ina, tampak juga Sibiati, ibu dari David, pelaku lainnya. Dia juga tampak shock. Meski begitu, dia mencoba sabar. Itu terlihat saat Jawa Pos mewawancarainya.
Sibiati mengatakan, setelah lulus sekolah, anaknya langsung melamar pekerjaan. Saking butuhnya, David melamar secara acak. Akhirnya, kata Sibiati, anaknya dipanggil kerja. Tapi, tak tahu jika pekerjaannya justru membuat anaknya berurusan dengan hukum.
”Lha iku mas. Niate nggolek rejeki, kok malah dadi ngene (niatnya mencari rezeki, kok malah jadi begini, Red), ” tuturnya sambil mengelus dada. (Jawa Pos/JPG)