17,7 Persen Warga Kalbar Kekurangan Gizi

Ancaman Ketahanan dan Kelangsungan Hidup Bangsa

KEYNOTE SPEAKER. Ria Norsan menjadi keynote speaker Seminar Gizi Nasional di Hotel Grand Mahkota, Pontianak, Sabtu (26/1). Bangun Subekti-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Permasalahan gizi dan pangan di Indonesia sangat kompleks. Sehingga penanganannya menjadi sangat penting.

“Membutuhkan kelembagaan yang kuat dengan melibatkan berbagai ahli, disiplin dan kementerian serta pemangku kepentingan,” kata Wakil Gubernur Kalbar Ria Norsan saat menjadi keynote speaker Seminar Gizi Nasional di Hotel Grand Mahkota, Pontianak, Sabtu (26/1).

Dijelaskan dia, masalah gizi merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan manusia. Selain dapat menimbulkan masalah kesehatan, kekurangan gizi juga menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dalam skala lebih luas memandang kekurangan gizi sebagai sebuah ancaman bagi ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa.

Dikatakan Norsan, indikator kemajuan suatu daerah dapat diukur dari Indeks Perkembangan Manusia (IPM). Terdiri dari tingkat pendidikan, derajat kesehatan dan kemampuan ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan dan kesehatan serta ekonomi harus dibangun dengan selaras. “Agar dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang optimal,” katanya pada seminar bertema ‘Penanganan Masalah Gizi Ganda Ditinjau dari Aspek Klinis dan Pengembangan Teknologi Pangan’ yang diselenggarakan Persatuan Ahli Gizi (Persagi) Kalbar itu.

Dilanjutkan Norsan, peningkatan derajat kesehatan salah satunya dapat dilakukan dengan meningkatkan SDM. Yaitu melalui perbaikan gizi secara tepat dan terus menerus. Indonesia berupaya melakukan percepatan perbaikan gizi secara seksama antara pemerintah dan masyarakat. Melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi.

Status gizi masyarakat merupakan salah satu penentu keberhasilan untuk memperoleh SDM berkualitas di masa akan datang. Saat ini, stunting dan kekurangan gizi mikro lainnya masih tinggi. Sedangkan masalah gizi lebih atau obesitas mulai banyak ditemukan. “Hal ini disebut dengan masalah gizi ganda,” jelasnya.

Tahun 2010, tingkat gizi kurang Kalbar berada pada angka 19,6 persen. Tahun 2018 menurun menjadi 17,7 persen. Artinya kekurangan gizi di Kalbar sudah dapat diturunkan sekitar 2 persen.

“Namun masih banyak masyarakat Kalbar di daerah-daerah yang menderita kekurangan gizi dari pada kelebihan gizi,” ungkapnya.

Ke depan, Pemprov Kalbar akan berusaha untuk menghidupkan kembali Posyandu di daerah-daerah. Karena saat ini perhatian pemerintah kabupaten/kota dan provinsi masih kurang untuk menggalakkan Posyandu. Melalui Posyandu akan diberikan langkah-langkah untuk mencegah kekurangan gizi.

“Misalnya dengan pemberian makanan tambahan kepada ibu-ibu hamil dan bayi-bayi, sehingga tidak kekurangan gizi,” harapnya.

Penanganan kekurangan gizi dan stunting menjadi prioritas Pemprov Kalbar dalam program kerja di tahun 2019. Yakni dengan memperkuat sinergi antara sektor terkait serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan keterlibatan swasta.

“Revitalisasi Posyandu, revitalisasi desa siaga serta membentuk pusat penanganan di tiap kabupaten/kota merupakan upaya konkrit yang diharapkan dapat menurunkan angka stunting di Kalbar,” paparnya.

Lewat Persatuan Ahli Gizi (Persagi) Kalbar, Norsan berharap dapat mengedukasi masyarakat tentang gizi. Terutama untuk ibu dan anak serta pro aktif dalam permasalahan gizi masyarakat Kalbar.

“Persagi juga diharapkan dapat membuat menu sehat dan seimbang dengan bahan yang mudah didapat namun berkualitas serta penyajian yang menarik dan disosialisasikan kepada masyarakat,” tutup Norsan.

Ditemui usai kegiatan, Norsan mengatakan, Pemprov Kalbar selalu berusaha untuk terus menurunkan angka kekurangan gizi di masyarakat. Seperti disampaikannya, langkah-langka yang perlu dilakukan di antaranya dengan revitalisasi Posyandu, memberi pengarahan masyarakat mengenai gizi serta memberikan pembinaan kepada kaum ibu menyusui. “Karena terkadang ada ditemui beberapa ibu yang enggan memberikan ASI kepada anaknya sampai dua tahun, padahal itu sangat penting,” tuturnya.

Dia berharap, tenaga gizi dapat memberi pencerahan kepada masyarakat. Paling penting para tenaga ahli gizi bisa menjalankan tugas dengan optimal. “Supaya para tenaga gizi merasa betah di daerah tugasnya, pemerintah akan memberikan fasilitas dan tunjangan yang memadai,” tutup Norsan.

Senada, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kalbar, Harry Agung menuturkan, permasalahan gizi menjadi prioritas pihaknya untuk segera ditangani. Kendati begitu, penanganannya tidak bisa cepat. Penanganan dimulai dari kehamilan hingga dua tahun menyusui. “Inilah intervensi kesehatan,” katanya saat ditemui awak media.

Namun intervensi kesehatan hanya memiliki daya ungkit sebesar 30 persen untuk peningkatan status gizi. Sementara 70 persen berasal dari faktor-fakto di luar masalah kesehatan kaum ibu. Salah satunya adalah masalah lingkungan.

“Jangan sampai tidak terpikir bahwa masalah sanitasi, air bersih, jamban keluarga sehat, tidak ada hubungannya. Semua itu ada hubungannya dan terkait dengan permasalahan ini,” jelasnya.

Menurutnya, permasalahan inilah yang harus menjadi bahan pikiran bersama sektor-sektor lainnya. Banyak hal yang bisa dikerjakan yang nantinya akan mengangkat status gizi di Kalbar, terutama di desa-desa. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan memiliki program-program yang terkait dengan pembangunan desa bebas dari kebiasaan buang air sembarangan. “Setiap desa harus memiliki jamban masing-masing agar kebiasaan ini bisa dihilangkan,” katanya.

Namun, Dinkes hanya memberi arahan mengenai langkah-langkah pencegahan kekurangan gizi. Sementara masyarakat adalah eksekutor dari program-program tersebut. “Masyarakatlah yang melakukan eksekusinya. Dinas hanya memberi pengarahan,” pungkas Harry.

 

Laporan: Bangun Subekti

Editor: Arman Hairiadi