Tersulut Polemik Nasional atau Justru Pengalihan Isu?

Tingkatkan Penjagaan Tempat Ibadah se-Indonesia

PESAN TERANG. Mengenang Intan, korban bom molotov yang meninggal dunia, masyarakat menggelar aksi menyalakan lilin di depan kantor Gubernur Kaltim, Samarinda. Warga lintas agama dan etnis hadir di sana. Pesan Terang untuk perdamaian dilontarkan dalam doa dan nyanyian untuk mengenang Intan. Saipul Anwar-Kaltim Post

eQuator.co.id – Jakarta-RK. Aksi bom Gereja Oikumene membuat Polri bersikap tegas. Korps Bahayangkara berupaya meningkatkan pengamanan tempat ibadah se-Indonesia agar kejadian yang sama tidak terulang. Jaringan pelaku pengeboman gereja juga sedang diperiksa. Ada 15 orang saksi yang diperiksa keterlibatannya dalam kasus tersebut.

Wakapolri Komjen Syafruddin mengatakan bahwa intensitas penjagaan semua tempat ibadah di Indonesia memang perlu ditingkatkan. Porsonil harus melindungi setiap orang dalam menjalankan ibadahnya.

”Sangat perlu penjagaan itu,” ungkapnya pasca upacara perayaan HUT Korps Brimob ke 71 di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat kemarin.

Namun, yang perlu untuk diluruskan adalah kejadian bom di gereja ini sama sekali tidak tekait dengan polemik nasional kasus dugaan penistaan agama. ”Saya tegaskan ya, sama sekali tidak terhubung,” ujar alumnus Akpol 1985 tersebut.

Syafruddin memastikan bahwa jaringan teror yang beraksi di gereja itu tidak terhubung dengan jaringan besar. ”Jaringannya segitu saja, tidak besar,” papar lelaki kelahiran Makassar tersebut.

Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian menuturkan, target dari pelaku itu hanya ingin menimbulkan kekacauan saja. Karena itu, masyarakat tenang saja.

”Ini pelaku yang lama, dikembangkan terus,” paparnya.

Hingga Senin siang, sudah ada lima orang terduga teroris yang ditangkap. Kelimanya diduga terlibat dengan pelaku Jo alias Juhanda bin Aceng Kurnia. Namun, masih ada target lainnya.

”Masih diperiksa,” ungkap mantan Kepala Densus 88 Anti Teror tersebut.

Afiliasi kelompok Jo ini kemungkinan terhubung dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Setelah keluar penjara, barulah pelaku bergabung dengan kelompok tersebut.

”Kemungkinan kaitannya itu,” ungkapnya.

Sementara Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menuturkan hal yang sedikit berbeda. Menurutnya, pelaku Jo ini kemungkinan tidak terhubung dengan kelompok teroris lain pasca bebas dari penjara.

”Seperti saat bom buku, kelompok Pepi Fernando juga tidak terhubung jaringan teror lain. Dia hanya memiliki ideologi yang sama,” ujarnya.

Setelah menangkap 5 orang, Densus 88 Anti Teror melanjutkan aksinya hingga sore hari. Hasilnya, sudah ada 15 orang yang diperiksa dan akan ditahan 7 x 24 jam. Mereka berstatus saksi, namun saksi yang diduga terlibat dengan pelaku Jo.

”Bukan saksi mata ya,” paparnya.

15 orang yang masih diperiksa itu diduga keterlibatannya setelah memeriksa alat komunikasi dan rumah dari Jo. Boy memastikan semua itu masih dalam pendalaman.

”Kalau sudah pasti, bisa jadi statusnya naik,” tuturnya.

Namun yang pasti ke-15 orang itu sama sekali bukan residivis seperti Jo. Dia menuturkan, hasil pemeriksaan sementara mereka merupakan orang baru.

”Kami petakan seperti apa jaringan ini,” paparnya.

Yang juga penting, jaringan Pepi Fernando yang lama juga sedang ditelusuri. Apakah ada yang sudah bebas atau tidak. Tapi, sepertinya kebanyakan masih berada di dalam penjara.

”Untuk memastikan saja, kami telusuri lagi,” ungkapnya.

Perlu diketahui, jaringan Pepi Fernando ini dikenal karena melakukan pengeboman dengan modus bom buku. Pepi memiliki pahak radikal itu saat berada di Aceh untuk menjadi relawan pasca musibah Tsunami.

Yang menarik, jaringan Pepi ini saat itu tidak terhubung dengan jaringan teror manapun. Hanya ideologi dan tujuannya yang mirip, dengan jaringan teror lain.

”Ya, begitu jaringan ini,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Boy, Densus 88 juga menggeledah sebuah rumah milik rekan Jo yang bernama Joko. Dalam pemeriksaan itu disita beberapa alat komunikasi dan dokumen.

”Jokonya tidak ada di rumah, mungkin kabur,” paparnya.

Bagaimana dengan bahan peledak yang digunakan Jo? Boy menjelaskan bahwa bom tersebut telah dipelajari dan hasilnya ada sejumlah bahan yang digunakan untuk membuatnya. Diantaranya, pupuk, arang, cuka, belerang dan alcohol 70 persen.

”Dari pemeriksaan Jo ini bisa membuat bom semacam itu saat belajar di Aceh,” ujarnya.

Selain itu, terkait korban, dipastikan salah satu korban bom gereja bernama Intan Olivia meninggal dunia. Dia mengalami luka bakar sekitar 70 persen di tubuhnya.

”Polri turut berduka dan akan berupaya sekuatnya mencegah jatuh korban kembali,” jelasnya.

Sementara Pengamat Terorisme Al Chaidar mengatakan, bila diteliti kejadian bom di Gereja Oikumene dengan kondisi nasional yang sedang memanas terkait kasus dugaan penistaan agama ini bisa jadi terhubung.

”Namun, dengan batasan tertentu,” ungkapnya.

Ada dua kemungkinan, yang pertama adalah adanya kemarahan yang terjadi pada kelompok teror atas situasi nasional. Kondisi yang tidak memuaskan semacam ini bisa jadi membuat kelompok teror semakin bersemangat melakukan aksinya.

”Karena melihat Indonesia makin lama makin menjauh dari Islam. Tapi, kalau hubungan langsung sulit ditemukan,” jelasnya.

Yang kedua, adalah kemungkinan menjadi pengalihan isu karena pemerintah kesulitan dalam menangani kasus Ahok. Al Chaidar menuturkan bahwa kejadian adanya pihak yang menggugah kelompok teror untuk melakukan aksi itu sebenarnya beberapa kali terjadi di Indonesia.

”Biasanya ini terjadi untuk bom yang tidak terkonsep dengan baik dan skalanya kecil,” tuturnya.

Apa dasarnya penggugahan aksi teror itu? Dia menjelaskan, ada satu kejanggalan yang tidak semua orang mengetahuinya. Yakni, Pepi Fernando itu justru menolak bergabung dengan jaringan ISIS.

”Pepi lebih condong pemikirannya sama dengan Al Qaeda. Kelompoknya juga harusnya memiliki pandangan yang sama,” ungkapnya.

Yang juga menguatkan, residivis kasus terorisme itu sebenarnya diawasi dengan sangat ketat oleh kepolisian. Lalu, bagaimana bisa Jo ini tidak terpantau.

”Polisi bukannya visinya mencegah,” ujarnya.

Di tempat lain, Menko Polhukam Jenderal TNI (Pur) Wiranto menggelar rapat koordinasi bersama Kapolri, Panglima TNI, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat (Jakpus), kemarin. Rapat tersebut membahas berbagai isu nasional yang sedang berkembang, salah satunya yakni insiden pengeboman di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim).

Usai memimpin rapat tersebut, Wiranto tidak menjelaskan secara detail langkah-langkah yang diambil pemerintah terkait insiden keji yang menewaskan seorang balita di tempat ibadah tersebut. Dia mengatakan bahwa pemerintah tidak segan untuk menindak setiap pelaku teror dengan tindakan keras.

“Kita masuk langsung ke sasaran dan pelaku-pelaku itu,” kata Wiranto.

Namun, Wiranto juga mengatakan bahwa selain itu yang terpenting harus dilakukan adalah melalui pendekatan persuasif atau deradikalisasi. Melalui pendekatan tersebut, lanjutnya, dia berharap pelaku atau calon pelaku terorisme dapat disadarkan.

“Yang melakukan teror itu kan saudara kita juga, WNI yang barangkali sedang khilaf, dicekoki ideologi lain, kemudian bahwa mereka merasa ada ketidakadilan dan sebagainya,” jelasnya.

Wiranto menjelaskan, langkah tersebut, yakni pendekatan persuasif atau deradikalisasi memang butuh kesabaran dari berbagai elemen bangsa. Di samping itu pemerintah, sambungnya, juga sedang berupaya keras mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh masyarakat agar bibit-bibit terorisme tidak tumbuh subur di Indonesia.

“Sementara itu sedang dilakukan, jangan kemudian dirusak dengan aksi-aksi yang negatif. Bunuh temannya, bunuh saudaranya, merusak sesuatu yang sedang dibangun. Membuat masyarakat jadi kacau, resah, investor jadi takut masuk ke Indonesia. Wisatawan juga takut,” ujarnya.

Di sisi lain, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan, sebaiknya umat Islam tidak perlu turun ke jalan lagi untuk melakukan aksi. “Khaira al-umur ausathuha, sebaik-baik urusan itu yang tengahan,” jelas dia melalui pesan singkat kepada Jawa Pos kemarin (14/11).

Menurut dia, aksi yang dilakukan pada 4 November lalu sudah cukup. Ormas-ormas Islam juga sudah menjalin komunikasi dengan pemerintah. Aspirasi yang disampaikan lewat aksi sudah sampai dan telah didengar.

“Kita tunggu. Proses hukum terus dikawal,” papar tokoh Islam yang tinggal di Jogjakarta itu.

Haedar mengatakan, dia yakin proses penegakan hukum akan berjalan dengan tegas, cepat, transparan, dan memenuhi rasa keadilan yang sudah disuarakan umat Islam. Serahkanlah proses hukum kepada pihak kepolisian yang sekarang berusaha menyelesaikan persoalan tersebut. (Jawa Pos/JPG)