eQuator – Diberlakukanya Open Sky Policy dinilai akan mengancam keutuhan negara kedaulatan Negara Republik Indonesia.
“Berdasarkan definisinya, Open Sky Policy merupakan kebijakan terbukanya kawasan udara negara seluruh negara ASEAN untuk melintas bebas,” kata Sy Usmulyani Alkadrie, Pengamat Transportasi Udara, Kamis (12/11).
Usmulyani mengatakan, terbukanya kawasan udara, akan memberikan peluang bagi negara-negara ASEAN untuk melintas di atas kawasan udara dari Indonesia. Tentunya berdampak pada kebijakan sosial, ekonomi, bahkan pertahanan keamanan. “Dengan demikian, eksistensi kita sebagai sebuah negara akan berkurang,” ujarnya.
Usmulyani menilai, Indonesia sebetulnya belum siap memberlakukan Open Sky Policy. Siap dalam arti mengenai tata ruang udara serta grand design perencanaan penerbangan yang dapat mengutungkan Indonesia.
Sesuai dengan konverensi Chicago, setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara, daratan dan udara. Akan tetapi pada kenyataan, masih terdapat ruang udara seperti di kepulauan Anambas dan Kepulaun Natuna, kawasan udaranya saat ini dikuasai oleh Singapura.
“Saya nilai belum memberikan dampak secara jelas untuk eksistensi sebuah negara. Meskipun diperkuatnya wilayah udara Kalbar dengan Oerlikon Skyshield, karena untuk melakukan tindakan, kita tidak memiliki otoritas penuh. Kalau ingin bergerak kita harus lapor dulu kepada mereka. Akan tetapi kita bisa melakukan demikian, kalau kita membuat perjanjian tertentu,” ungkap Usmulyani.
Menurutnya, peningkatan Alutsista perlu diseimbangkan dengan otoritas dan aturan yang tepat. Jangan sampai punya alat, tetapi tidak bisa berbuat. “Kita punya ruang udara, akan tetapi ruang udaranya dikuasai oleh negara lain. Artinya kita berdaulat di negara kita. Oleh karena itu, untuk memastikan itu merupakan kewenangan udara milik kita, harus kita kuasai dulu ruang udara milik kita,” tegasnya.
Harus ada pemikiran dari para kelompok ahli di Indonesia untuk berembuk, merumuskan solusi menyikapi kondisi ini. Agar kebijakan Open Sky Policy dapat dijadikan peluang positif untuk mengoptimalkan penerbangan Indonesia secara maksimal.
Laporan: Syamsul Arifin
Editor: Hamka Saptono