Novelis Warung Kopi Pontianak yang Mendunia

Sidik Nugroho, Tampil Cemerlang di UWRF 2016, Bali

BICARA DI BALI. Sidik Nugroho (kaos putih) saat berbicara dalam sesi Origin Stories pada Ubud Writers and Readers Festival 2016, di Taman Baca, Ubud, Bali, Kamis (27/10). Sidik for Rakyat Kalbar

eQuator.co.id – Lagi hangat-hangatnya orang bicara literasi, di Ubud Writers and Reader Festival (UWRF) 2016, Sidik Nugroho tampil sebagai salah seorang pembicara di ajang bergensi se Asia Tenggara-Australia. Penulis novel asal Pontianak itu sempat menjadi nominator The Man Booker International Prize 2016.

Iman Santosa, Pontianak

Sidik bicara dalam sesi yang membahas tentang penulisan bertajuk Origin Stories. Dia tampil bersama novelis lainnya seperti Eka Kurniawan penulis  Lelaki Harimau yang juga nominator The Man Booker International Prize 2016. Ada juga sineas Kirsti Melville dan penulis Damon Young, keduanya asal Australia.

Sidik didaulat sebagai pembicara mengenai cerita asli tentang bagaimana sebuah obsesi masa kecil mempengaruh seorang penulis selama hidupnya. Maka, selama lima hari, 26-30 Oktober 2016,  para penulis dan sineas berkumpul di Ubud, Bali, event yang rutin digelar setiap tahun. Dan UWRF bisa dibilang sebagai ajang berkumpulnya penggiat literasi terbesar setidaknya di Asia Tenggara.

Tahun ini saja, sederet nama besar dunia sastra dipastikan hadir seperti Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, Djenar Mahesa Ayu hingga Joko Anwar. Dan dari luar negeri hadir para penggiat literasi mulai dari penulis, jurnalis, seniman hingga pejuang HAM. Dan diantara nama-nama itulah, Sidik Nugroho, tampil penulis muda berbakat asal Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Tentu bukan ujug-ujug Sidik Nugroho bisa hadir menjadi pembicara dalam ajang berkelas internasional tersebut. Ia adalah satu diantara 16 penulis yang berhasil terpilih sebagai penulis “emerging” hasil seleksi dari panitia UWRF. Emerging adalah istilah yang digunakan UWRF merujuk pada penulis Indonesia yang karyanya berkualitas namun belum mendapat publikasi yang memadai. Karya Sidik berjudul, Tewasnya Gagak Hitam, berhasil mengungguli 894 penulis se Indonesia.

Ini tahun pertama Sidik mengirimkan karyanya ke panitia UWRF 2016. Ia ingat benar bagaimana ia baru mengirim naskah untuk seleksi pada panitia di hari terakhir penyerahan naskah. Dari empat karya yang didaftarkan, Tewasnya Gagak Hitam yang lolos. Novel itu juga salah satu yang masuk daftar dialih bahasakan oleh Badan Bahasa Nasional 2016 ini.

Meski berprestasi cemerlang, nama Sidik Nugroho tidak begitu dikenal di ranah literasi Pontianak. Padahal dia bukan penulis kemarin sore dan sudah menerbitkan sembilan buku. Hanyutnya Sidik ke dunia kepenulisan berawal dari keisengannya ikut lomba penulisan di kampusnya, 2002. Tidak dinyana ia meraih juara ketiga.

“Saking nggak percayanya saya nanya kepanitia pesertanya ada berapa. Takutnya kan pesertanya cuma tiga. Ternyata yang ikut mencapai 30 orang. Dari situlah baru sadar, oh ternyata saya bisa menulis toh,” kenangnya.

Genre karya-karya Sidik cukup beragam. Tak hanya novel fantasi, pernah pula menulis buku motivasi. Dan kini sedang gandrung menulis novel misteri dan detektif, seperti Tewasnya Gagak Hitam itu. “Sebab belum banyak yang mengambil cerita seperti ini, makanya saya yang masuk ke sini,” ungkapnya.

Sidik punya ritual unik dalam menulis. Hampir semua novelnya ditulis di warung kopi. “Tak tahu kenapa ketika di tempat lain, rasanya nggak nyaman,” ceplosnya sembari tertawa lepas.

Karena itulah Sidik selalu mencari warung kopi yang jarang didatangi oleh orang yang dikenalnya. “Karena jika bertemu dengan teman atau kenalan, saya malah ngobrol,” ujarnya.

Sekarang ini pria yang kembali kuliah di bidang hukum ini mengaku sudah sepenuhnya hidup dari dunia kepenulisan. Sebelumnya, sempat mengajar di beberapa sekolah swasta di kota Pontianak. Sejak Maret 2016, ia memutuskan untuk berhenti menjadi pengajar dan menjadikan menulis sebagai satu-satunya perkerjaan. Kelak jika suatu saat rezekinya di dunia kepenulisan surut, Sidik mengaku tak khawatir, “ya saya tinggal jadi guru lagi,” ujarnya tertawa.

Sidik ternyata bukan sekadar penulis khayalan. Sebelum menulis, dia melakukan riset. Mulai dari riset kepustakaan hingga datang langsung ke tempat yang menjadi latar novelnya. “Karena dalam cerita detektif triller penggambarannya itu harus rinci,” jelasnya.

Sidik mengaku beberapa kisahnya juga bahkan terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata. “Makanya saya cari warung kopi yang ada televisinya jadi sambil nonton berita,” jelasnya.

Bagaimana pengalamannya bicara di UWRF 2016, Ubud, Bali, Kamis (27/10) pekan lalu? Penggemar film ini bilang yang dibahasnya tentang bagaimana terpengaruh dengan kisah-kisah di masa kecilnya. Ia percaya proses kreatif seorang penulis tidak lepas dari bacaan masa kecil atau remajanya.

Menurut Sidik, pilihan hiburan beberapa puluh tahun lalu tidak sebanyak sekarang, dan buku adalah salah satu pilihan hiburan baginya. “Novel seperti Wiro Sableng, Pendekar Rajawali Sakti, komik Tinju Bintang Utara, sampai sandiwara radio Tutur Tinular, semua itu punya andil membentuk saya seperti yang sekarang,” ungkapnya.

Sidik berharap para penulis pemula Pontianak ada yang menyusul jejaknya menjadi pembicara di UWRF. Ia percaya banyak penulis muda Pontianak punya kualitas menjanjikan. Karena itu ia menantang mereka agar berani untuk menjajal diri.

“Salah satunya dengan mengirimkan naskah pada orang yang memang ahlinya (editor penerbit). Atau paling tidak ikut kompetisi sastra yang memang diakui oleh komunitas sastra,” katanya.

Menurut Sidik hal ini penting, karena kalaupun naskah kita kalah ataupun ditolak penerbit, setidaknya kita bisa mengetahui di mana kelemahannya, dan seperti apa karya-karya berkualitas yang menjadi pemenang. “Kalaupun naskah ditolak atau kalah, itu bukan berarti naskah kita jelek,” pungkasnya. (*)