Kisah Kasih Abadi Pilihan Mami Habibie

BERTAUT SEPANJANG HAYAT. Rudy Habibie dan Ainun beberapa saat setelah melangsungkan pernikahan pada 1962. Andi Makmur Hakka for Jawa Pos

eQuator.co.id – Sudah tampan, jenius pula. Maka tak heran jika tidak sedikit perempuan yang ingin dekat-dekat dengan Bacharuddin Jusuf “Rudy” Habibie muda. Kepada wartawan Jawa Pos Andra Nur Oktaviani, Habibie bercerita tentang cinta-cintanya sebelum menemukan kasih sejatinya: Ainun.

Cinta Rudy Habibie dan Ainun yang sudah melegenda tidak tumbuh begitu saja. Jauh sebelum dua hati itu berpadu, mereka hanyalah dua remaja biasa yang tidak saling melirik. Keduanya sama-sama jenius. Tidak heran, salah satu guru sekolah mereka, Go Ke Hong, sering menjodoh-jodohkan mereka. Rudy sering salah tingkah. Tidak nyaman karena terus dipanas-panasi. Belum lagi kawan-kawan Rudy yang mulai ikut-ikutan meledeknya.

Bagi Rudy, tiada yang menarik dari diri Ainun remaja. Kulit gelap Ainun karena kebanyakan main voli membuat Rudy tak tertarik. Bahkan Rudy pernah meledek Ainun. ”Saya pernah kurang ajar kepada Ainun. Saya pernah meneriakinya jelek. Hitam. Gendut. Tapi, ternyata itulah jodoh,” kata Rudy Habibie kepada Jawa Pos saat ditemui di Taman Makan Pahlawan (TMP) Kalibata, Jumat (10/6) pagi.

Kisah mereka di SMA pun berakhir tanpa pernah ada benih cinta. Rudy pun menjalin hubungan dengan gadis lain. Namanya Farida. Blasteran Belanda dan Indonesia. Usianya dua tahun di atas Rudy. Kala itu, cukup banyak gadis yang mendekati Rudy. Kebanyakan berusia di atas umur Rudy. Entah apa alasannya. Rudy pun masih tidak mengerti.

Cerita cinta dengan Farida tidak mulus. Setelah pergi ke Jerman, hubungan keduanya kian tidak jelas. Apalagi kala itu komunikasi jarak jauh tidak semudah sekarang. Untuk menelepon sebentar saja, alamak biayanya. Surat pun jadi satu-satunya alat komunikasi yang murah. Itu pun harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa menerima sepucuk surat.

Tak mampu mengatasi problem LDR (hubungan jarak jauh), hubungan Rudy dan Farida pun kian pudar. Apalagi Rudy baru berusia 18 tahun. Mudah saja untuk move on dan fokus pada cita-citanya di Jerman.

Ainun? Beluuuuuum.

Belum ada sama sekali sosok Ainun di benak Rudy. Dia pun berada di Jerman tanpa beban. Ainun pun demikian. Dia melenggang masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tanpa sedikitpun menyisakan ruang pikiran untuk si anak kurang ajar. Yang pernah mengatainya jelek, hitam, dan gendut.

Di Jerman, magnet pesona Rudy kian kuat menyedot perhatian para gadis. Apalagi setelah dia memenangkan tender untuk melanjutkan studi S3. Menurut Rudy, sekolah S3 di sana beda dengan di Indonesia. Di sini, calon mahasiswa mendaftar, ikut tes, diterima, kemudian membayar untuk mulai berkuliah.

”Di sana ditender. Yang menang tender justru dibayar untuk sekolah. Buat anak muda seperti saya, lumayan itu,” katanya, lalu tertawa.

Dengan makin mapannya Rudy, makin banyak gadis yang tertarik. Apalagi, Rudy terbilang aktif di organisasi pemuda. Dia pernah menjadi ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Aachen. ”Itu juga sebabnya saya ada kontak dengan perempuan. Normal kan,” ucapnya.

Rudy memang fokus jika sudah berkutat dengan kuliah dan pekerjaannya di sana. Namun, saat akhir pekan tiba, dia bergaul seperti biasa. Layaknya anak muda. Berkenalan dengan banyak orang. Menonton konser. Atau sekadar jalan-jalan dengan teman-temannya.

Dari banyak kenalan perempuan, satu telah mencuri hati Rudy. Ilona. Gadis Jerman berdarah Polandia itu berhasil membuat Rudy terpesona. Adalah Goethe, sastrawan tersohor Jerman, yang menjadi perekat mereka. Di mata Rudy, Ilona adalah satu-satunya gadis yang hafal syair Goethe. Karena itu, Rudy yang juga ngefans dengan Goethe, bisa nyambung saat ngobrol dengan Ilona.

”Ceritanya ada di film Rudy Habibie,” kata dia.

Ilona memang kawan dekatnya. Mereka bersama selama 1,5 tahun. Sebelum ibunda Rudy, Tuti Marini, ambil tindakan untuk memisahkan mereka berdua. Selain Tuti, teman-teman Rudy di Jerman juga tidak setuju Rudy bersanding dengan Ilona. ”Soalnya kan dia Londo,” kata Rudy.

Pada akhirnya restu Mami tetap menjadi penunjuk jalan utama. Komunikasi Rudy dan Ilona semakin buruk. Rudy pun harus fokus pada kuliah S3-nya.

Mami, yang ingin sekali Rudy bersama Ainun, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengirimi Rudy tiket pulang ke Indonesia. Mami berencana mempertemukan anak keempatnya itu dengan Ainun. Setelah mendapat izin dari profesor, Rudy pun pulang.

”Sudah tujuh tahun tidak pulang. Sampai Indonesia kepanasan dan langsung ke Bandung. Besoknya, saya diajak ke rumah Ainun. Tepat pada malam takbiran. Seperti yang ada di film Habibie & Ainun. Saya tidak mau,” katanya panjang lebar.

Namun pertemuan tetap digelar. Itu menjadi kali pertama Rudy melihat lagi Ainun. Gadis yang dulu dipanggilnya dengan sebutan gula jawa karena berkulit hitam, sekarang sudah berubah 180 derajat. Kulitnya cerah. Wajahnya juga tambah cantik.

”Dia terlihat dewasa sekali. Saya kaget. Saya bilang, Ainun, cantiknya… Gula jawa jadi gula pasir,” kenangnya.

Mendengar ucapan Rudy, Ainun hanya tersenyum. ”Mungkin Ainun kaget yah, orang yang dulu kurang ajar tetap saja kurang ajar. Dalam tulisan Ainun, dia menulis, saya tidak akan lupa kalau Rudy mengatakan saya gendut dan sebagainya,” kata Rudy, lalu tertawa mengenang kejadian itu.

Melihat Ainun yang dewasa, putih, dan cantik, Rudy mendadak jatuh cinta. Namun, eits, tunggu dulu. Rudy bukan satu-satunya pilihan. Banyak saingan. Karena tak sedikit yang tertarik dengan Ainun.

”Yang suka sama Ainun lebih ganteng dari Habibie. Jelas lebih tinggi. Lebih tua dan tidak kalah pintar di bidang lain. Ada hukum, kedokteran, ekonomi,” ungkap Rudy. Mereka pun kerap datang ke rumah Ainun. Tidak sedikit juga yang menjemput Ainun di tempat kerjanya.

Namun garis jodoh telah mempermudah Rudy dan Ainun menautkan hati. Tidak lama setelah pertemuan itu, mereka pun menikah pada 12 Mei 1962. Prosesi akad dilakukan di kediaman keluarga Ainun di Jalan Ranggamalela 11B Bandung. Sedangkan resepsinya digelar di Hotel Preanger.

Rudy kemudian memboyong Ainun ke Jerman untuk mendampinginya menyelesaikan pendidikan S3. Berbekal dua kopor pakaian, pasangan muda itu bertolak ke  Aachen, tempat Rudy menimba ilmu. Di sana mereka menyewa paviliun kecil dengan tiga kamar kecil. Ukuran boleh mungil, tapi biaya sewanya cukup mahal. Separuh gaji Rudy habis untuk membayar sewa.

Mereka pun harus hidup ngirit. Salah satunya dengan menekan pengeluaran membeli busana. Untuk pakaian kantor dan baju sehari-hari, Ainun menjahitnya sendiri. Dia juga membuat sendiri baju bayi dan pakaian musim dingin. Karena itu, saat punya uang lebih, mesin jahitlah yang pertama mereka beli. Biaya hidup di sana memang tidak murah. Ainun harus pandai-pandai mengatur keuangan agar semua kebutuhan bisa terpenuhi.

Ketika Ainun dinyatakan hamil, mereka memutuskan pindah ke tempat yang lebih lapang. Karena biaya sewa di Aachen yang cukup tinggi, keduanya memilih mencari tempat tinggal di pinggiran kota. Sebuah rumah susun di Oberforstbach jadi pilihan utama. Ukurannya lumayan besar. Lengkap dengan ruang keluarga, kamar tidur, kamar anak-anak, dapur, dan kamar mandi.

Tinggal jauh dari pusat kota membuat Ainun merasa hidupnya agak berat. Untuk memeriksakan kandungannya saja, dia harus naik bus. Itu pun tidak selalu ada. Hanya pagi dan sore. Untuk bersosialisasi, Ainun juga kesulitan karena bahasa Jermannya belum begitu lancar. Rudy yang jadi satu-satunya teman Ainun pun selalu pulang larut untuk menyelesaikan studinya. Ainun makin kesepian.

Pada 16 Mei 1963, putra pertama Rudy dan Ainun lahir. Mereka menamainya Ilham Akbar Habibie. Karena sudah punya anak, Rudy membutuhkan penghasilan tambahan agar bisa mencukupi kebutuhan. Rudy pun menjalani pekerjaan sampingan sebagai ahli konstruksi di  pabrik kereta api. Dia mendesain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan. Waktunya pun habis di luar.

Berkat ketekunannya bekerja, Rudy memperoleh pekerjan di Hamburg. Gajinya bertambah dan impian mereka sedikit demi sedikit mulai terwujud. Mereka membeli mesin cuci karena kerap kewalahan dengan tumpukan pakaian yang harus dibawa ke laundry umum. Di Hamburg, Ainun melahirkan putra kedua mereka. Thareq Kemal Habibie pada 1967.

Perlahan tapi pasti, kondisi ekonomi mereka membaik. Ainun juga kembali bekerja sebagai dokter untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dia juga masih punya keinginan untuk menggunakan ilmu yang dia miliki. Waktu Ainun untuk keluarga jadi sangat terbatas. Puncaknya, saat Thareq yang kala itu berusia 6 tahun sakit keras. Ainun merasa ada yang salah dalam dirinya. Dia sibuk mengurusi anak orang lain. Sementara anaknya sendiri terbengkalai.

Akhirnya Ainun pun memutuskan untuk kembali mengurus rumah dan keluarganya. Kebetulan, karir Rudy juga sudah semakin baik. Penghasilannya pun sudah jauh meningkat. Semenjak itu, Ainun terus mendampingi Rudy yang semakin sering pergi dinas ke luar negeri.

Sejak Rudy mengikat janji pernikahan di hadapan penghulu, hingga 48 tahun 10 hari setelahnya, keduanya tidak pernah terpisahkan. Di mana ada Rudy, di situ ada Ainun. Begitu pula sebaliknya.

”Bersama Ilona mungkin kalau dihitung-hitung saya menghabiskan dua minggu penuh. Tapi bersama Ainun, saya menghabiskan 48 tahun 10 hari,” tutur Rudy.

Kemesraan keduanya diakui keponakan Rudy, Adrie Subono. Adrie yang pernah tujuh tahun tinggal bersama keluarga Rudy di Hamburg mengatakan, Rudy dan Ainun selalu mesra. Tidak pernah sekali pun mereka terlibat pertengkaran. ”Kalau Ibu (Ainun) marahin Bapak (Habibie) sih sering. Karena memang Bapak kadang-kadang bandel. Tapi yah, marah karena sayang. Bukan yang lain,” kata Adrie.

Adrie menambahkan, keluarga Rudy dan Ainun memang keluarga yang mandiri. Saat Rudy tengah disibukkan dengan berbagai pekerjaan, Ainun dengan telaten mengurus rumah. Dia juga mengantar jemput kedua anaknya saat sekolah. Semua dilakukan sendiri. ”Saya banyak banget deh belajar dari Bapak Ibu,” ucap Adrie.

Hanya Berusaha

Menemukan Solusi

Presiden ke-3 RI BJ Habibie bisa disebut sebagai orang paling jenius di Indonesia. Sederet penemuannya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi aeronautika sudah banyak membantu dunia penerbangan dunia. Mulai dari crack propagation, teori Habibie, faktor Habibie, metode Habibie, dan penemuan lainnya yang amat penting dalam lingkungan dunia ilmu dirgantara.

Anehnya, tapi tidak satupun dari temuan itu diakui Habibie sebagai temuannya. Hal itu dibenarkan Andi Makmur Makka, penulis Biografi Bacharuddin Jusuf Habibie. Makka menuturkan, banyak sekali prestasi yang telah diraih Habibie.

”Tapi, dia tidak sadar bahwa penemuannya itu bisa disebut sebagai teori dan yang lainnya. Padahal sangat berguna,” ujarnya kepada Jawa Pos saat ditemui usai menghadiri acara peluncuran buku Habibie the Series di Perpustakaan Habibie & Ainun di kawasan Patra Kuningan kemarin (23/6).

Dia melanjutkan, selama ini, Habibie bekerja seperti biasanya. Tidak ada sedikitpun ambisi untuk bisa membuat sebuah penemuan besar atau sejenisnya agar bisa jadi orang terkenal. Habibie, kata Makka, hanya berusaha menyelesaikan masalah yang dibebankan kepadanya. Tanpa memikirkan keuntungannya untuk diri sendiri. Semua penelitian berjalan begitu saja.

Makka menceritakan saat Habibie diminta mencari solusi untuk permasalahan pada gerbong kereta api. Dia hanya mengerjakannya sampai akhirnya menemukan solusi yang akhirnya berguna untuk produksi gerbong kereta api selanjutnya.

”Dia tidak memikirkan harus bikin teori atau apa. Pokoknya ada masalah, dia carikan solusi,” jelas mantan pimpinan redaksi Harian Republika itu.

Menurut Makka, pihak lain yang justru lebih aware akan prestasi dan penemuan Habibie. Tidak heran, dia diganjar berbagai macam penghargaan. Termasuk penghargaan Edward Warner Award dari International Civil Aviation Organization (ICAO) yang hingga saat ini hanya diberikan kepada 40 orang dan organisasi di dunia. Habibie menjadi satu-satunya penerima penghargaan yang berasal dari Asia.

Teori, faktor, dan metode Habibie yang tidak pernah dibukukan pun akhirnya dibukukan dalam sejumlah jilid Advisory Group for Aerospace Research and Development (AGARD). Buku tersebut merupakan buku pegangan yang berisi prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam mendesain pesawat terbang standar NATO (North Atlantic Treaty Organization). ”Saya pernah lihat sendiri bukunya,” ucap Makka.

Habibie juga tidak pernah sadar bahwa penelitian dari proses hingga hasil yang dilakukannya mengandung filosofi sampai akhirnya dia dianugerahi gelar Dr HC di bidang filsafat oleh Universitas Indonesia. Saat hendak memberikan gelar tersebut, ada tiga profesor yang mendatangi Makka di The Habibie Center. Termasuk Guru Besar UI Prof Maswadi Rauf. Mereka mengatakan keinginannya untuk memberikan gelar Dr HC kepada Habibie.

Mereka mengaku sudah membaca beberapa buku tapi belum menemukan bagian filsafat dari Habibie. ”Kita berilah buku-buku yang menyangkut pemikiran Habibie. Ada juga buku saya yang judulnya Jejak Pemikiran Habibie,” ungkap Makka.

Mereka pun membawa pulang buku-buku tersebut. Makka sempat khawatir para profesor itu tidak juga menemukan hal yang mereka cari di buku-buku tersbeut. ”Akhirnya saya menelepon. Maksudnya, jika kurang, akan saya tambahkan buku lainnya. Ternyata, mereka sudah menemukannya,” ujarnya.

UI kemudian mengaugerahkan Dr HC bidang filsafat teknologi untuk Habibie. Penganugerahan dan pelantikan dilakukan oleh rektor UI saat itu Prof Dr Soz Gumilar Rusliwa Somantri di Balairung, Kampus UI Depok pada 30 Januari 2010 bersamaan dengan upacara wisuda program profesi, spesialis, magister, dan doktor UI 2010. (Jawa Pos/JPG)