Kintamani, Pamornya Menurun Gara-gara Rabies

Film Dokumenter Kong Kong! Kaing Kaing!

eQuator.co.id – Anjing Kintamani sempat naik daun hingga diakui Federasi Kinologi Internasional. Belakangan, anjing ras ini kurang mendapat perhatian menyusul merebaknya rabies. Bahkan, di tempat asalnya, Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, dianggap sebagai hama.

SUTRADARA muda Dwitra J. Ariana menyoroti masalah keseharian yang dekat dengan kampung halamannya di Bangli. Bersama dengan Sanggar Siap Selem, Banjar Jeruk Mancingan, pria yang akrab disapa Dadap, itu membuat sebuah film yang berjudul Kong Kong! Kaing Kaing! yang menyoroti Anjing Kintamani.
Film itu diikutkan dalam Festival Film Bali (FFB) serangkaian dengan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38. Film tersebut diputar di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Rabu (30/6) malam.
Dalam film berdurasi 24 menit, itu Dadap mengangkat isu soal Anjing Kintamani. Anjing itu menjadi ikon Kabupaten Bangli, sekaligus ikon Indonesia, karena menjadi satu-satunya ras anjing lokal asal Indonesia yang diakui oleh Federasi Kinologi Internasional.
Namun di habitat aslinya, di Desa Sukawana, anjing ini justru tidak mendapat perhatian. Anjing kintamani sempat digandrungi dan dibiakkan oleh warga setempat. Peternak pun bermunculan. Belakangan ketika pamornya turun setelah virus rabies merajalela di Bali, anjing kintamani ditinggalkan.
Anjing ini belakangan dianggap sebagai hama karena merusak lahan pertanian. Sementara peternak anjing setempat mengandalkan proses peternakan dengan pola meliarkan.
Tak butuh lama bagi dirinya melakukan riset. Hanya perlu waktu selama sebulan untuk menyelesaikan film tersebut. Sepuluh hari di antaranya digunakan untuk pengambilan gambar. Sementara 20 hari sisanya untuk proses editing.
“Saya kalau membuat film dokumenter itu mengangkat isu yang dekat dengan saya sebagai film maker. Jadi riset tidak perlu lama. Saya sudah mendengar isu yang terjadi di sana (Desa Sukawana, Red), tinggal memastikan masalah itu ada atau tidak. Jadi riset tidak terlalu berat,” katanya.
Dalam film itu Dadap menemui beberapa orang di Desa Sukawana. Di antaranya Nengah Sadia, peternak anjing yang membawa anjing kintamani hingga diakui secara internasional; Kade Kari, ketua kelompok peternak anjing di Desa Sukawana yang kebetulan anjing betinanya baru melahirkan; serta Darmawan, seorang peternak anjing di desa setempat.
Film secara runut membahas proses perjuangan Nengah Sadia memperkenalkan anjing kintamani ke kancah internasional, kendala peternak dalam membiakkan anjing karena anjing mereka sering diracun.
Selain itu, minimnya perhatian dari Dinas Peternakan Bangli pada kelompok peternak anjing setelah virus rabies merebak.
Dadap juga memunculkan kandang-kandang bagi peternak anjing yang kini terbengkalai, lantaran peternak memilih proses pembiakan dengan lepas liar.
Masalah proses pembiakan itu pun menyisakan kegelisahan tersendiri bagi Dadap. Lantaran pembiakan anjing kintamani yang dilakukan di Bogor, bisa dilakukan menggunakan kandang. Sementara di Desa Sukawana, para peternak belum berhasil membiakkan anjing dengan pola mengandangkan.
“Pemerintah seolah suka narsis saja. Jadi kelompok apa yang berkembang, itu yang dapat pendampingan, dapat dana. Membuat bisa, tapi merawat tidak bisa. Saya ingin menggugah, supaya warga ini bisa tetap mendapat pendampingan, karena mereka belum bisa bergerak optimal tanpa pendampingan. Supaya pembiakan anjing kintamani ini bisa berdampingan dengan pertanian. Karena anjing ini kan masih dianggap hama,” ujar Dadap.(Bali Ekspres/JPNN/JPG)

EKA PRASETYA, Denpasar