Efisiensi dan Elektrifikasi yang Mempertemukan

Mereka Ngerumpi Solar Power

NGOBROLIN LISTRIK TENAGA MATAHARI. Penulis (kiri) bersama Mohammad Bahrun, arsitek green building dari Yayasan Pena, dan Regy Wahono dari Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) Kantor Staf Wakil Presiden RI, dalam ngerumpi soal listrik tenaga matahari. Jto for Rakyat Kalbar

eQuator.co.id-Silaturahmi Solar Power (SSP) I akhirnya terlaksana. Dari 15 yang mengonfirmasi, tiga tidak bisa datang. Yang dua karena acara pagi baru selesai lepas tengah hari. Yang satu karena tidak bisa menemukan alamat Pondok Pesantren Tahfidz Nurul Furqon. Meski sudah dipandu Google Maps.

Tapi ada tiga peserta yang baru menginformasikan akan ikut Sabtu pagi. Ditambah beberapa wartawan, media online, dan televisi, total jenderal ada 22 orang. Cukup ramai.
Diskusi nonformal berlangsung dua sesi. Sesi pertama dilakukan di meeting point Bintaro Exchange Mall. Titik kumpul sebelum berangkat ke pondok pesantren. Diskusi kedua tentu saja berlangsung di pesantren. Yang berlokasi di Jl Swadaya Kawasan Sektor 9 perumahan Bintaro Jaya itu.

‘’Kami berencana memasang solar power untuk pesantren ini,’’ kata Marjana, direktur Bank Mega Syariah. Yang juga pendiri dan pengasuh pondok pesantren tahfiz Qur’an
‘’Jangan buru-buru memasang solar power karena alasan ingin menurunkan biaya listrik PLN. Lakukan dulu dua tahap wajibnya,’’ kata Weno, Chairman PT ATW Sejahtera, ATPM produk solar panel REC Norwegia untuk Indonesia.

Apa dua tahap tersebut? Pertama, pastikan jaringan kabel listrik yang eksisting dalam keadaan normal dan baik.
‘’Kabel yang sudah tua atau kualitasnya rendah tidak bisa mengantarkan arus dengan baik. Ini sumber pemborosan pertama,’’ sambung Paulus, Direktur PT ATW Sejahtera.

Bila kabel-kabel sudah dipastikan berfungsi sempurna tetapi konsumsi listriknya masih boros juga, lakukan penggantian bola lampu yang ada dengan lampu LED. ‘’Saat ini banyak lampu yang mengklaim hemat energi tetapi bukan LED,’’ lanjut Paulus.

Setelah dua langkah itu dilakukan, lihat konsumsi listriknya. Bandingkan dengan pemakaian listrik periode sebelumnya. Berapa lebih hemat? Apakah dengan penghematan itu, masih juga dinilai terlalu mahal?
‘’Bila masih dianggap mahal, barulah solar power menjadi pilihan dengan target menurunkan biaya sampai angka yang diinginkan.’’ papar Paulus.

Setelah memastikan penurunan biaya listrik PLN dengan solar power, barulah masuk ke tahap memilih produk yang akan digunakan. ‘’Gunakan produk yang berkualitas baik, berkinerja baik dan bergaransi. Gunakan yang umur pakainya panjang dan sudah teruji,’’ saran Victor, perwakilan REC Pty Ltd Singapura.

‘’Jadi, tahapnya tidak langsung pasang solar power?’’ tanya saya.
‘’Jangan langsung. Dua tahapan itu mesti dilakukan lebih dulu, sebelum memutuskan untuk memasang solar power,’’ sambung Paulus.

Penjelasan itu rupanya menarik perhatian Harry AS Sukadis, mantan Dirut Bank PTPN Syariah, dan Hendiarto, mantan Direktur Keuangan Bank Muammalat. Keduanya mengundang ATW Sejahtera untuk mendiskusikan teknis rencana pemanfaatan solar power di rumah mereka di Menteng Regency, Bintaro Jaya.

Demikian pula halnya Gatot Adhi Prasetyo, Direktur Bank BTPN Syariah. Gatot juga ingin mendiskusikan lebih jauh pemanfaatan solar power itu untuk rumahnya di cluster The Green, BSD City.

Biaya konsumsi listrik memang menjadi persoalan semua pelanggan PLN. Namun hal itu bukan satu-satunya problem. Ada masalah lain, yakni adanya kelompok masyarakat yang belum bisa menikmati listrik. ‘’Elektrifikasi nasional baru menjangkau 90 persen. Masih ada 10 persen masyarakat kita belum bisa menikmati listrik,’’ papar Regy Wahono, dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang berada di dalam koordinasi Kantor Sekretariat Wakil Presiden itu.

Kelompok masyarakat tersebut, lanjut Regy, berada di daerah yang secara geografis sulit dilayani jaringan PLN. Bisa karena keterbatasan daya listrik. Bisa juga karena kesulitan infrastruktur jaringan.
‘’Misalnya masyarakat di pulau-pulau kecil atau di pedalaman. TNP2K mendorong semua pihak untuk menyediakan solusi berupa sumber energi listrik yang mandiri kepada kelompok masyarakat ini,’’ kata Pak Regy.

Waktu setengah hari untuk membahas listrik tenaga surya ternyata belum cukup. ‘’Harus ada pertemuan lagi agar semua gagasan yang sudah muncul bisa diimplementasikan sebagai solusi,’’ kata Mohammad Bahrun, arsitek dari Yayasan Pena yang concern pada konsep green building itu.

Memang waktu setengah hari itu tidak cukup. Meski demikian, semua peserta merasa senang karena tujuan utama pertemuan itu adalah untuk menjalin silaturahmi.
Beberapa orang yang hadir sebenarnya sudah saling mengenal. Tetapi kesibukan membuat mereka jarang berjumpa. Ternyata isu pemberdayaan melalui solar power yang ramah dan murah telah mempertemukan mereka kembali.
Sebagai narahubung pertemuan ini, saya mengucapkan terima kasih. Mohon maaf bila ada yang kurang sempurna. (jto)
*Admin disway.id, Blogger